Postingan

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Gambar
  Aku menghentikan sejenak bacaan yang sedang asik, tepat di bagian Wayan Balik, sosok kedua yang perlu ditemui untuk menyingkap trauma masa lalu Ni Rumyig dalam buku Kalamata . Wayan Balik selain turut menemani Ni Rumyig dalam pertunjukan wayang, ia juga pernah menjadi juru catat semacam organisasi BTI (?) pada masa lalu. Maka, ingatan segar yang seharusnya akan mulai kususun pasca aku sampai di Jogya—di kosan hangatku tersayang, aku justru terpacu untuk menuliskannya di sini dalam beberapa sisi dan persepktif. Aku ingin mencatat semua yang kulihat baik-baik, agar kelak, aku bisa menyimpan emosi ini baik-baik dan tidak bertindak serampangan kala barangkali aku punya kuasa. Aku akan melewati bagian aku melakukan konferensi dan menjadi presenter di ICONIS 8 th di IAIN Madura. Tulisan pendek ini akan lebih fokus ke agenda tur yang disiapkan panitia ke Tanean Lanjheng pasca pembukaan konferensi di tanggal 30 Juli 2024. Tanean Lanjheng itu berarti rumah yang Panjang, Panjang ini l...

Ruang Aman: Yang Bergema, Nyaring, dan Kosong

Gambar
  Foto diambil dari pameran artbook Yogya 2024 Belakangan, aku mendengar banyak sekali orang menggunakan diksi “ruang aman”, di media sosial juga begitu, di tempat-tempat nongkrong juga begitu. Hingga suatu hari akhirnya aku jemu mendengar diksi tersebut, terlebih orang-orang yang menjelaskannya secara panjang lebar—sementara aku tahu mereka barangkali tak benar-benar paham apa itu ruang aman, yang tercermin dari perkataannya, laku jejaknya. Aku juga tidak ingin buru-buru mendefinisikan ruang aman secara fix seolah itu adalah ruang yang sudah selesai dan terkungkung dalam definisi pribadiku. Tapi aku tahu—kalian tahu, yang kita pikirkan mungkin sama, ruang aman dalam definisi mainstream—tapi tentu bukan satu-satunya, definisi itu haruslah bergerak ke arah yang progresif, dalam pengetahuan, gerakan, atau minimal sekali mengendap dalam akal budi sendiri. Setelah banyak muncul kasus Kekerasan Seksual (KS) di ranah akademik, akhirnya kampus-kampus di Indonesia berbenah dan mulai me...

Tentang Puisi dan Bagaimana Aku Mengamini Ke-Maha-an-nya

  Di bangku es dua, aku berkenalan dengan teman yang sudah sangat lama tidak kusapa, ia ada dalam gudang memoriku yang bercampur pengalaman kuliah tidak menyenangkan, titik-titik pengetahuan yang tidak bersambung kemana-mana, dan lain sebagainya dan lain seterusnya. Ialah puisi, yang dulu karya-karya Adonis atau Mahmoud Darwish sering muncul di pengalaman keseharianku. Tapi hanya itu! berkelindan dari satu masalah ke masalah lainnya. Salahku karena pengetahuanku yang terbatas. Tapi entah sejak kapan, puisi menjadi bagian yang tersimpan rapi dan aku menisbatkannya sebagai “hal-hal yang bukan untukku”. Aku menghormatinya seadanya, seperti orang luar sastra memandang puisi barangkali (?), padahal seharusnya jarakku dengan puisi lebih dekat—seharusnya, idealnya, begitu. Thanks to Lia, puisi-puisinya indah, ia acap kali mempengaruhiku untuk membaca buku-buku puisi, atau memotivasi secara tidak langsung untuk menulis selama es satu. Sampai kini, puisi dan tulisan Lia senantiasa menyi...

Yang Terserak

  Aku pulang dengan kepingan hati yang terserak Satu di sisi kamar kos Satu di sudut meja Satu lagi di kuping kawanku Catatan berhamburan Mataku terpaku pada tulisan-tulisan tidak terbaca Di sana ada pantulan aku yang resah Yang ternyata bisa insomnia juga

Apa kabar?

  Jantung berdegup pada resah dan ingin tahu kabarmu Potret biru laut, biru langit, juga kamu Pada perkenalan yang adik bilang suka “Abang begitu laki-laki dalam biru”     Melompati 2022 dan 2023 Adik lari pada rindu-rindu nan pedih Tidak tersampaikan, tidak berkesudahan Birumu, cukup dalam memori saja Tidak perlu di Instagram Yang barangkali terlihat dalam pencarian Dan ingin tahu kabarmu   Mengapa cinta begitu mudah pada orang-orang? Datang, pergi, dan berganti begitu saja   Sedang kamu, masih berlari-lari dalam kenangan baruku dengan orang-orang Tidak mempan ditimpa tulis Dan biarlah begitu Semoga resah juga milikmu

MEUGANG: KEHANGATAN DALAM SEPIRING RENDANG DAN TIDAK ADA PUN TIDAK APA-APA

  Aku menulis ini tanpa melihat rujukan apa-apa, hanya ingin mengejawantahkan semua repertoire-ku tentang tradisi   meugang berdasarkan pengamatanku.   meugang itu, sederhananya adalah tradisi memasak aneka olahan daging yang dilakukan H-1 menjelang ramadhan atau lebaran. Ada yang dibuat rendang, ada yang buat sop dengan tulang-tulang sapi yang besar, ada yang buat daging putih, kari, daging goreng balado, dan apapun lah, beda rumah beda selera. Keluarga besarku juga merayakan itu saban tahun, dan masa remaja yang kuhabiskan di Aceh secara tidak langsung membentuk pola pikirku bahwa   meugang adalah kewajiban. Orang yang tidak memiliki daging di rumahnya ketika hari   meugang patut dikasihani, karena selain tidak punya uang, rasanya tidak ada alasan lain yang membuat orang Aceh tidak merayakan meugang. Ada beberapa cerita saban tahun di kampungku tentang   meugang ini. Cerita tentang pengantin baru yang suaminya tidak punya uang untuk membeli sekilo dag...

Aba-aba

Gambar
  Foto dari koleksi pribadi Vini, dijepret di kediaman Ibu Dolorosa Sinaga, Beranda Rakyat Garuda (BRG) Pelari menungging menunggu peluit Busway di kanan jalan menunggu hijau Segelas kopi menunggu antri Kencing ditunggu berdiri   Oh sudah giliran Hidup meloncat dari gaji ke gaji Jadi manusia tatanan Berbudi beradab berduit Sisanya hutang tas Fossil yang tidak terbeli   Negara tidak memberi peringatan Ibu tidak mengajari hidup alam ringkih aku ringkih tanpa aba-aba apalagi selametan   selagi tumbangkan kapitalis dan asing! aku terperosok sendiri dalam waktu dan tuntutan KPR Vini,  21/11/23