MEUGANG: KEHANGATAN DALAM SEPIRING RENDANG DAN TIDAK ADA PUN TIDAK APA-APA

 

Aku menulis ini tanpa melihat rujukan apa-apa, hanya ingin mengejawantahkan semua repertoire-ku tentang tradisi  meugang berdasarkan pengamatanku.  meugang itu, sederhananya adalah tradisi memasak aneka olahan daging yang dilakukan H-1 menjelang ramadhan atau lebaran. Ada yang dibuat rendang, ada yang buat sop dengan tulang-tulang sapi yang besar, ada yang buat daging putih, kari, daging goreng balado, dan apapun lah, beda rumah beda selera.

Keluarga besarku juga merayakan itu saban tahun, dan masa remaja yang kuhabiskan di Aceh secara tidak langsung membentuk pola pikirku bahwa  meugang adalah kewajiban. Orang yang tidak memiliki daging di rumahnya ketika hari  meugang patut dikasihani, karena selain tidak punya uang, rasanya tidak ada alasan lain yang membuat orang Aceh tidak merayakan meugang.

Ada beberapa cerita saban tahun di kampungku tentang  meugang ini. Cerita tentang pengantin baru yang suaminya tidak punya uang untuk membeli sekilo daging sampai harus berhutang kepada abang-abangnya. Ada juga keluarga yang terlampau miskin dan sang ayah gagal membawa daging kepada istri dan anaknya di rumah- yang lantas disedekahkan daging oleh tetangganya.

Bagi laki-laki Aceh, membawa pulang daging di hari  meugang itu adalah kewajiban di samping harga dirinya sebagai pemberi nafkah keluarga. Apalagi sudah common kalau laki-laki akan pulang ke rumah istrinya (mertuanya) dan tinggal selama beberapa tahun di rumah istrinya sebelum akhirnya memiliki rumah sendiri, maka tentu harga diri suami akan tercoreng ketika tidak mampu membawa apapun ke rumah. Walaupun, katakanlah, mertuanya sudah membeli daging juga, tetapi tetap saja daging yang dibeli menantu laki-lakinya itu memiliki “harga” lain atas tanggung jawab mempersunting anak perempuannya.

Ketika kecil, sepertinya aku juga pernah mendengar lagu-lagu aceh yang menceritakan kesedihan luar biasa ketika sang Ayah absen dalam membawa pulang daging di hari  meugang karena ayahnya adalah korban tsunami atau konflik panjang di Aceh. Kesimpulan yang kudapat di masa lalu adalah,  meugang tidak hanya menjadi tradisi perayaan menyambut ramadhan atau lebaran, tetapi juga sekaligus menjadi harga diri laki-laki.

Sebagaimana perayaan,  meugang itu ya akan terasa nikmat kalau dimakan bersama keluarga. Makan daging yang tidak bersama keluarga mungkin taste-nya akan seperti makan nasi padang saja. Sejak prosesi gotong royong para perempuan di dapur dalam mengolah daging, dan laki-laki yang tinggal makan saja, terasa hangat dan akrab. Daging yang bukan hanya tentang daging.

Aku masih ingat tahun-tahun Abu-ku (kakek) selalu membawa pulang daging dari Kidee Meureudu sambil mengkomparasi harga daging yang ia dapatkan dengan tetangga sebelah. Abu biasanya mendapatkan harga terbaik, mungkin karena ia adalah orang yang dituakan dalam kampung adat juga. Aku juga masih ingat Ayahku yang tidak bisa dan tidak suka makan daging selalu exited membawa pulang daging ketika meugang. Padahal baunya saja ayah tidak tahan, tapi sejak aku kecil, di rumah kami selalu ada daging  meugang untuk makan, ya selama di Jakarta walaupun kadang-kadang bergeser ke daging ayam yang direndang ;)

Pergeseran makna  meugang sebagai diaspora

Setahun belakangan, aku mulai suka melihat identitas diriku sebagai diaspora. Berawal dari membaca buku Subagio Sastrawardoyo tentang Chairil dan STA yang merepresentasikan identitas in-between (?), mereka tidak melekat di desa, sekaligus juga pada waktu setelahnya ada kejengahan terhadap kota. Identitas masa kecil mereka dibangun di desa, tatapi karya-karya sastra yang mereka hasilkan beberapa terpengaruh dari Belanda atau Eropa- menggunakannya sekaligus mengkritiknya. Aku sendiri sejak kecil sudah hidup berpindah-pindah kota, kemudian berpindah provinsi, dan itu terjadi sampai sekarang. Maka kerinduan dan rasa sayangku pada orang tua atau keluarga bukan berarti fisik yang saling melekat. Pun, aku rasa orang tuaku mungkin berpikir yang sama.

Identitas diaspora yang tidak melekat pada tempat membawaku pada kemudahan adaptasi dimanapun. Hal ini juga membawa sudut pandang lain pada diriku dalam melihat tradisi meugang.  meugang itu tradisi yang harus terus dipelihara dan dilanjutkan, bau daging itu bisa jadi adalah rumah dan kehangatan yang dirindukan para perantau di luar Aceh. Tapi tanpa  meugang juga tidak apa-apa. Mungkin karena aku tidak terlalu suka daging dan indomie lebih nikmat, atau memang seperti kata Prof. Faruk, aku memberi jarak diriku dengan tradisi ini, seperti pengamatan orang luar terhadap sesuatu yang berada di dalam. Entahlah.

Tetapi walau tanpa daging, kehangatan  meugang masih sampai di relung-relung jiwaku. Orangtua-ku saban tahun akan menelepon kala aku tidak di rumah. Mereka khawatir aku kesepian dan tidak merayakan meugang. Tanteku juga menelepon menyuruhku pulang ke rumahnya di Klaten untuk merayakan meugang. Kalau aku jawab “Ya”, tante akan masak besar untuk kunikmati. Inilah makna sebenar-benar meugang padaku sekarang, sebelum Ramadhan saling menelepon keluarga untuk minta maaf dan mengobrol tentang apapun yang penting dan tidak penting di dunia. Seperti kemarin, aku menelepon mama hanya untuk mengatakan aku sariawan sudah beberapa hari dan tidak sembuh-sumbuh, lalu mama bersimpati dengan latar belakang adik kecilku yang berisik minta uang jajan. Tanteku juga menelepon dua hari berturut-turut untuk menyuruh aku pulang ke Klaten, tetapi aku enggan karena rasanya ada yang mengganjal kalau proposal tesis belum selesai.

Hal yang mungkin tidak kusadari adalah, perhatian keluarga padaku itulah yang membuat suasana  meugang masih ada dalam diriku dan tidak sepenuhnya hilang, representasi keluarga yang hangat sakalipun berjauhan secara fisik. Aku suka mamaku menjadi mamaku, aku bersyukur ayahku menjadi ayahku, mamiku menjadi mamiku, tenteku menjadi tanteku. Dan aku, tetap menjadi aku.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak