Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

 



Aku menghentikan sejenak bacaan yang sedang asik, tepat di bagian Wayan Balik, sosok kedua yang perlu ditemui untuk menyingkap trauma masa lalu Ni Rumyig dalam buku Kalamata. Wayan Balik selain turut menemani Ni Rumyig dalam pertunjukan wayang, ia juga pernah menjadi juru catat semacam organisasi BTI (?) pada masa lalu. Maka, ingatan segar yang seharusnya akan mulai kususun pasca aku sampai di Jogya—di kosan hangatku tersayang, aku justru terpacu untuk menuliskannya di sini dalam beberapa sisi dan persepktif. Aku ingin mencatat semua yang kulihat baik-baik, agar kelak, aku bisa menyimpan emosi ini baik-baik dan tidak bertindak serampangan kala barangkali aku punya kuasa.

Aku akan melewati bagian aku melakukan konferensi dan menjadi presenter di ICONIS 8th di IAIN Madura. Tulisan pendek ini akan lebih fokus ke agenda tur yang disiapkan panitia ke Tanean Lanjheng pasca pembukaan konferensi di tanggal 30 Juli 2024.

Tanean Lanjheng itu berarti rumah yang Panjang, Panjang ini lebih mengarah ke arsitektur bagian dan fungsi-fungsi rumah. Misal, kamar mandi pasti ada di bagian depan rumah, lalu bagian paling bagus dan dihias sedemikian rupa (biasanya ada di sisi halaman ruman) Bernama kobung, bentuknya semacam surau, fungsinya tidak terbatas pada praktik ibadah saja, tetapi juga agenda makan bersama dengan keluarga. Nah, yang menarik satu rumah terdiri dari beberapa keluarga, jadi kobung itu digunakan sebagai bagian dari silahturahmi harian setiap keluarga dalam bentuk ramah Tamah makan bersama.

Setiap bagian Tanean Lanjheng memiliki filosofi tersendiri, msialnya rumah yang atapnya dibuat cukup rendah, sehingga orang-prang yang tingginya 168 cm lebih, mungkin perlu menundukkan kepalanya sebelum masuk rumah. Kata warga yang aku ajak bicara: itu disengaja, agar para tamu menghormati empunya rumah dengan menundukkan dirinya sebelum masuk rumah. Mungkin konsepnya hampir sama dengan menundukkan tubuh ketika berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Tanean lanjheng juga tidak memiliki pintu belakang, dan memang disengaja seperti itu. filosofinya adalah, siapapun yang bertamu hendaklah dari depan, dan siapapun yang keluar juga hendaklah dari depan, masuk baik-baik, keluar baik-baik, mungkin begitu ya. Aku hanya merangkum apa yang kudengar dari obrolan tempo hari saja, tanpa menambahkan sumber internet lainnya.

Hampir terlewat, Lokasi dapur itu juga ada di depan rumah, entah bagian depan, atau memang di teras, dan itu juga memiliki filosofinya tersendiri. Deskripsi di atas barangkali bisa sebagai pengantar, aku tidak mau berlama-lama di sini.

Tempo hari ketika sampai di desa yang agak menanjak ke arah gunung ini, kami disambut oleh mahasiswa KKN yang berpakaian serba merah, layaknya pagar ayu di pesta pernikahan. Kesan ini juga ditambah dengan make-up mereka yang tebal dan cantik-cantik. Sedangkan yang laki-laki—hanya dua orang—memakai pakaian khas Madura yang luarannya hitam, dalamnya seperti ada kaos garis-garis merah. Aku mengapresiasi mereka yang sangat well-dressed dalam menyambut kami dari event yang membawa-bawa nama “internasional” ini. Bahkan banner selamat datang sudah ditemui 1 KM sebelum sampai ke desa!

        Aku sungguh merasa bersalah ketika tahu mereka sudah mempersiapkan diri dan berbaris sejak pukul 13.00, sedangkan kami baru bergegas menuju Lokasi sekitar pukul 15.00, aku belakangan mengetahui ketika kepala desa menyampaikan hal ini ketika sambutannya. Perasaan kesal ini kemudian membawa ingatanku pada kejadian beberapa jam sebelum ke desa, acara yang seharusnya mulai jam 08.00, ternyata benar-benar dibuka pukul 09.00, kemudian dilanjutkan oleh sambutan yang begitu panjang dari setiap tokoh yang naik ke podium. Maksudku, kalau memang sudah terlambat, ada baiknya memberi kabar juga kepada orang desa, agar mereka tidak menunggu terlalu lama. Apalagi kaum bapak (sebenarnya lebih mantap kalau kusebut ‘kakek’) turut meninggalkan pekerjaannya demi menyambut kami dengan rebana dan nyanyian dari Tembhang yang kulupa namanya apa.


Aku sedikit bernostalgia ke Kak Sukma, rekan kerjaku dulu. Sejak pertama kali aku bekerja dan kebetulan perlu terjun ke lapangan, Ka Sukma berulang kali mengingatkanku agar tidak terlambat, jangan buat para penerima manfaat ini menunggu, jangan rusak harga diri mereka untuk menunggu kita yang seolah Mesias pembawa selamat. Sekalipun kita datang untuk membantu, jangan pernah berpikir kita lebih baik dari mereka, hargai waktu yang mereka sisihkan untuk datang menemui kita. Kurang lebih seperti itu. Nampaknya itu melekat padaku hingga kini. Kalau bangku akademik justru semakin menciptakan kesenjangan kaya-miskin dan menjadikan orang-orang desa serta marginal sebagai objek pengamatan, maka tujuan pendidikan untuk menciptakan kesempatan-kesempatan baru di dunia dan kemanusiaan sejatinya gagal terwujud.

        Kembali ke acara penyambutan kami tadi. Selepas bertemu dengan adik-adik serba merah, kami disambut oleh bapak-bapak yang memainkan rebana di kobung dengan begitu lama, lincah, dan malu-malu. Aku memperhatikan sejak awal hingga akhir. Aku tidak membuang mata untuk sekedar bercakap-cakap dengan presenter lainnya di lokasi. Ada rona seperti perawan desa di wajah kakek-kakek yang menyenandungkan salawat dan kidung khas Madura tersebut, mereka membuang wajah ke bawah sambil tersenyum kalau kedapatan tidak sengaja bertaut mata denganku. Itu membuatku lantas seperti pemuda kurang ajar yang bukannya berhenti menatap, malah semakin tidak ingin membuang pandangan dengan melihat mereka satu persatu dari dekat.  

        Dalam beberapa detik, pikiranku justru mengingat foto-foto yang terpampang sepanjang jalan menuju desa. “Kami mendukung Pak XXX sebagai pemimpin”, dan banyak bunyi slogan lainnya. Teringat juga wajah presiden kita sekarang yang sejak jadi walikota seringkali blusukan ke daerah-daerah miskin. Dengan banyaknya peraturan baru yang dibuat menjelang lengser, dan dirinya yang tidak tahu malu itu, apakah pernah para pemimpin kita menatap lekat ke wajah orang-orang tua seperti di Desa ini, lantas berintropeksi diri kalau segala keputusannya, besar ataupun kecil, pasti mempengaruhi mereka. Segala tanda tangan perizinan yang membongkar paksa rumah mereka demi aneka proyek pertambangan dan lain-lain akan meninggalkan kegusaran di hati mereka. Apa mereka sanggup berdiri di depan wajah-wajah tulus nan polos ini tanpa merasa malu karena gagal menyejahterakan mereka dengan aneka program dan janji-janji?

Aku yang bercita-cita menjadi Ibu RT suatu hari nanti rasanya masih belum mampu memikul tanggung jawab kesejahteraan bersama ini, tapi aku ingin—minimal tetanggaku sendiri hidupnya sejahtera, sehingga anak-anaknya bisa bersekolah dengan nyaman tanpa harus memikirkan tetek bengek hal-hal di luar pelajarannya, agar suatu hari mereka bisa mencari nafkah di jalan yang terus menumbulkan akal budi dan daya kreatif mereka sebagai manusia.

Sudah sampai Solo, setengah jam lagi aku sampai Yogyakarta! dan menulis di kereta ternyata bayarannya pegal dan kesemutan, ya?

Kemarin, ketika orang-orang berebut foto bersama dengan adik-adik KKN yang cantik, memotret desa dan acara sambutan yang diisi sastrawan yang memenangkan penghargaan Asia dan kelak penghargaan Bakri Award (?), aku justru ingin berfoto bersama para kakek. Aku harus mengenang pengalaman dan emosi baru yang kurasakan kemarin bersama mereka. Pada akhirnya, di konferensi yang membawa-bawa label Internasional ini, justru pelajaran terbaik bagiku ada di Tanean Lanjheng. Terima kasih.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa kabar?

Yang Terserak