Ruang Aman: Yang Bergema, Nyaring, dan Kosong

 

Foto diambil dari pameran artbook Yogya 2024

Belakangan, aku mendengar banyak sekali orang menggunakan diksi “ruang aman”, di media sosial juga begitu, di tempat-tempat nongkrong juga begitu. Hingga suatu hari akhirnya aku jemu mendengar diksi tersebut, terlebih orang-orang yang menjelaskannya secara panjang lebar—sementara aku tahu mereka barangkali tak benar-benar paham apa itu ruang aman, yang tercermin dari perkataannya, laku jejaknya.

Aku juga tidak ingin buru-buru mendefinisikan ruang aman secara fix seolah itu adalah ruang yang sudah selesai dan terkungkung dalam definisi pribadiku. Tapi aku tahu—kalian tahu, yang kita pikirkan mungkin sama, ruang aman dalam definisi mainstream—tapi tentu bukan satu-satunya, definisi itu haruslah bergerak ke arah yang progresif, dalam pengetahuan, gerakan, atau minimal sekali mengendap dalam akal budi sendiri.

Setelah banyak muncul kasus Kekerasan Seksual (KS) di ranah akademik, akhirnya kampus-kampus di Indonesia berbenah dan mulai menyediakan yang mereka sebut “ruang aman”. Cara-cara legal dan non legal ditempuh demi rekonsiliasi mental korban. Aku tentu setuju, harus ada konsekuensi tegas yang mempengaruhi si pelaku. Sialnya, pelakunya juga ada yang seorang dosen, yang secara pengalaman ia membaca lebih banyak dari usia mahasiswinya, ia diberkati dengan hidup di Indonesia dan berlindung di balik “adab murid terhadap guru”. Sebagai dosen, katakanlah ia memiliki semacam relasi kuasa—yang walau tidak diakui, itu inheren dalam hubungan sosialisasinya di kampus. Dosen di Bali misalnya yang berdalih bimbingan skripsi dengan tanpa tahu malu mendatangi kos mahasiswinya. Yang terbaru, bapak-bapak si paling filsafat itu, berstatus sebagai dosen di Unpar juga, melakukan sejumlah tindakan kekerasan seksual kepada banyak sekali perempuan muda, entah itu mahasiswinya atau anggota komunitas/diskusi filsafatnya.

Menurutku, apa yang terjadi di kampus dan komunitas sebenarnya memiliki layer yang lebih tebal sampai pelaku benar-benar terhukum. Banyak pertimbangan internal sebelum akhirnya korban melapor, banyak sekali! Walau di satu sisi, sebenarnya kalau bicara konsekuensi, kampus memiliki kuasa yang besar untuk memberikan kerugian secara materiel dan non materiel kepada pelaku. Ini berbeda dengan orang acak di kereta misalnya, yang juga melakukan tindakan serupa. Di publik space, bisa jadi pelaku dan korban tidak saling mengenal, dan sangat mungkin korban bisa membela dirinya sendiri karena tiada terikat hubungan emosional, moral, hegemoni, dan apapun itu kepada pelaku. Tapi di kampus itu berbeda!

Pertanyaan ini acap kali kuajukan sendiri ketika gabut, sebenarnya sampai mana batas seseorang bisa dikatakan melakukan kekerasan seksual? Perumusan ini di kepala korban barangkali akan membuat dirinya mengkerdilkan masalahnya sendiri. Flirting yang tidak wajar, sentuhan-sentuhan di badan tanpa concent, whatsapp yang membuat tidak nyaman siang malam, dan seterusnya dan seterusnya—selain pemerkosaan, yang akan dianggap ringan dan tidak ada orang yang peduli pada dirinya yang dirisak karena “hal yang ringan ini”.

Sejauh ini, definisi kekerasan seksual sudah diwartakan oleh Komnas Perempuan dengan baik, bahwa bukan hanya perkosaan yang termasuk KS, tindakan-tindakan lainnya juga termasuk.[1] Tetapi, penjabaran ini sayangnya hanya digunakan oleh orang-orang secara parsial, atau yang mungkin lebih disayangkan lagi, orang-orang yang menganggap “kekerasan” itu bermakna kekerasan fisik. Korbannya harus babak belur dulu baru bisa dikategorikan sebagai “kekerasan”. Tapi tentu aku tidak bicara soal mereka, aku bicara soal orang-orang yang mengerti, mereka dosen di kampusnya, mereka ketua di komunitasnya, mereka tokoh masyarakat di sekitarnya.

Pertanyaan kedua yang ingin kuajukan, kapan sebenarnya kita perlu meng-cut off pelaku KS? Apakah ketika sudah ada ketuk palu dari semuanya bahwa ia adalah pelaku? (aku sudah berpanjang lebar di bagian ini yang akhirnya 3 menit yang lalu kuhapus demi kebaikan konsumsi publik walau view-nya dikit) ;-

Kembali ke ruang aman, maka apa itu ruang aman ketika ruang-ruang yang seharusnya “aman” malah diisi oleh orang-orang seperti itu? ruang aman hanya bergema pada yang sadar, segelintir garakan, dan mungkin diiisi barisan para korban. Sisanya adalah gema-gema yang nyaring bunyinya, kosong isinya, tahu substansinya, nol tindakannya. Aku tidak akan menulis tentang “apa yang bisa kita lakukan”, karena kupikir sudah banyak sekali artikel yang ditulis kawan-kawan di media, dan itu cukup representatif. Tulisan ini mungkin ditujukan sinis untuk orang-orang yang berbicara tapi tidak paham apa yang ia bicarakan, untuk orang-orang yang menulis, tapi tidak mengerti apa yang ia tulis, orang-orang yang membaca, tapi tidak memahami isi bacaannya. Mereka kosong di tengah lautan pengetahuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak