Tentang Puisi dan Bagaimana Aku Mengamini Ke-Maha-an-nya
Di bangku es dua,
aku berkenalan dengan teman yang sudah sangat lama tidak kusapa, ia ada dalam
gudang memoriku yang bercampur pengalaman kuliah tidak menyenangkan,
titik-titik pengetahuan yang tidak bersambung kemana-mana, dan lain sebagainya
dan lain seterusnya.
Ialah puisi, yang
dulu karya-karya Adonis atau Mahmoud Darwish sering muncul di pengalaman
keseharianku. Tapi hanya itu! berkelindan dari satu masalah ke masalah
lainnya. Salahku karena pengetahuanku yang terbatas. Tapi entah sejak kapan,
puisi menjadi bagian yang tersimpan rapi dan aku menisbatkannya sebagai “hal-hal
yang bukan untukku”. Aku menghormatinya seadanya, seperti orang luar sastra
memandang puisi barangkali (?), padahal seharusnya jarakku dengan puisi lebih
dekat—seharusnya, idealnya, begitu.
Thanks to Lia, puisi-puisinya
indah, ia acap kali mempengaruhiku untuk membaca buku-buku puisi, atau
memotivasi secara tidak langsung untuk menulis selama es satu. Sampai kini, puisi
dan tulisan Lia senantiasa menyihirku. Kata-katanya begitu tulus. Beberapa hari
lalu aku mengatakan padanya untuk ‘tetap menulis’ di tengah hura-hura dunia
korporat yang tidak berbelas kasih itu. Akan selalu ada aku yang menjadi penikmatnya.
Kembali ke bangku
es dua, masuk kelas puisi Prof. Faruk, dan sejak saat itu, aku mulai membaca
buku kritik sastra—terutama puisi, ternyata di balik kata-kata yang barangkali
hanya enam baris terdapat kekayaan pengetahuan yang luar biasa. Sejak semester
dua lalu, aku berisik mengatakan pada siapa saja akan sit in di kelas
yang sama di semester berikutnya, and i did. Prof. Faruk yang repertoar
pengetahuannya begitu penuh hingga tumpah memercikkan hal-hal yang menarik dalam puisi padaku.
Puisi itu, menyimpan kedalaman makna yang mungkin tidak tersentuh di ranah prosa, yang barangkali juga tidak menggugah di dunia bahasa. Ada keintiman yang personal, ada nilai-nilai kemanusiaan yang universal, ada memori kolektif yang tidak terkatakan, ada diri pengarang yang seorang manusia, ada pengetahuan tentang dunia yang hanya bisa dirasakan: tidak teraba. Kalau meminjam istilah Lacan, seperti ada hal-hal yang tidak pernah sampai dan tidak terbahasakan. Sekalipun puisi merupakan kata-kata, diksi itu tidak serta merta mewakili “yang sampai”. Ada gejala-gejala yang aku tahu aku tidak akan pernah mencapai makna yang utuh. Pembiaran dan penundaan makna pada akhirnya menjadi sebuah keindahan tersendiri untukku.
Membaca puisi
dengan kemungkinan-kemungkinan, yang acap kali nampak biner, sering juga
berlagak Tuhan, sering pula menjadi manusia buangan, dan lain sebagainya dan
begitu seterusnya.
Tentang puisi, dan
akhirnya aku mengamini ke-Maha-an-nya.
Komentar
Posting Komentar