Yang Mati dan Terlupakan

 



Sebuah Esai

Sejarah Indonesia merupakan keniscayaan yang dibangun dengan banyak darah, mulai dari kolonialisasi panjang Belanda hingga kekerasan yang terjadi antar orang-orang Indonesia sendiri. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) misalnya, saya terus bertanya pada guru mengapa saya harus melihat serangkaian pembunuhan dan siasat lainnya yang tidak saya mengerti lewat film G30S-PKI yang terus diulang-ulang setiap tahun- ketika saya lebih menyukai film Doraemon. Guru hanya mengikuti instruksi kepala sekolah, kepala sekolah mengikuti instruksi dari pusat, lalu pusat mengikuti instruksi siapa? Siapa yang menyarankan anak SD untuk menonton film yang sarat politik dan propaganda tersebut? Atau siapa yang dimaksud dengan “pusat” di sini, sedangkan masa kecil saya sudah lewat era presiden Soeharto.

Ketika beranjak di bangku kuliah, saya baru mulai bisa memetakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya di masa kecil, termasuk betapa label PKI ternyata menyimpan kurang lebih satu juta jiwa masyarakat Indonesia yang terbunuh, entah di Bali, Jawa Timur, atau daerah-daerah lainnya. Islam sebagai agama rahmah yang saya kenal, tidak luput sebagai ajang propaganda kepentingan, semua PKI adalah kafir dan halal darahnya. Dan karena “fatwa” tersebut, manusia berubah menjadi iblis-membunuh, menyiksa, memerkosa, dan tindakan anarkis lainnya, dan yang paling keji adalah, “fatwa” tersebut membuat pelakunya tidak merasa bersalah, alih-alih mereka mungkin merasa sebagai utusan malaikat untuk menghukum orang-orang PKI yang “tidak percaya Tuhan”. Sejarah kekerasan ini mungkin menjadi kekerasan paling besar yang dimotori oleh pemerintah, dan sayangnya sedikit sekali mendapat perhatian dunia. Mungkin juga karena lamanya sang presiden berada dalam jabatannya, sehingga tidak sembarang orang berani mengusik setelah kejadian tersebut.

Beberapa dasawarsa terakhir, para sastrawan mulai merangkum kejadian-kejadian tersebut melalui karyanya, misalnya seperti Eka Kurniawan atau Seno Gumira Adjidarma, yang hingga kini karyanya masih asik menjadi kajian dan bahan diskusi mahasiswa sastra. Melalui karya tersebut, setidaknya masyarakat literasi Indonesia diingatkan agar tidak lupa peristiswa kekerasan yang terjadi di masa lalu, karena peristiwa tersebut pernah hadir, dan mereka bahkan mati sebelum sempat bertanya salahnya apa. Keluarga korban kemudian menanggung diskriminasi berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum sempat menyudahi kesedihan atas kehilangan anggota keluarganya dengan cara yang tragis. Karya sastra menyoroti tiap kesedihan individu, dan tentu mereka tidak hanya bilangan satu dua tiga atau satu juta, mereka adalah ayahnya seseorang, ibunya seseorang, anaknya seseorang- yang dibesarkan dengan peluh perjuangan dan kasih sayang.

Kesadaran mengenai kemanusian yang partikular ini turut saya dapatkan di sastra, dan sejauh saya berpikir dan berdiskusi dengan orang-orang, saya masih belum menemukan jalan keluar mengenai “apa yang bisa saya lakukan atas sejarah kekerasan masa lalu ini”, saya hanya bisa menulis, dan memupuk kesadaran diri dan orang-orang di sekitar saya, itupun kalau mereka sedang tertarik dengan pembahasan kasus 1965. Kini orang-orang berlomba untuk produktif yang berimplikasi langsung pada kapital, menjadi manusia yang enggan berpikir rumit, pun ini disokong oleh sistem pendidikan Indonesia itu sendiri, maka saya khawatir, lama-kelamaan Indonesia akan kekurangan para pemikir.

Dari latar belakang tersebut, saya berpikir bahwa IPT-65 merupakan wadah belajar yang sangat baik bagi saya untuk menemukan orang-orang yang memiliki topic interest yang sama, yang bisa mendiskusikan keadilan dan kemanusiaan bersama, lantas turut merumuskan tentang “apa yang bisa kita lakukan” secara kolektif, tidak hanya tentang individu-individu, barangkali berupa karya, barangkali berupa laporan riset, atau barangkali berupa aksi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak