Tuhan dalam "After That, then What?"
Kesadaran yang mula-mula kudapatkan di awal 20-an adalah pertanyaan mengenai "after that, then what...". Pertanyaan ini mengemuka dalam berbagai pengalaman. Pertanyaan itu membawaku pada tujuan melakukan atau meninggalkan sesuatu. Pertanyaan itu juga membawaku pada "how long" aku bisa mengeksplorasi dan memaklumi kebosananku.
Setahunan aku berkontemplasi mencari Titik akhir dari pertanyaan itu, hingga menemukan bahwa dunia kadang bisa menyenangkanku kadang juga tidak. Namun, semua kesenangan di dunia itu fana, bisa hilang, dengan sebab hilangnya subjek atau objek yang menjadi sebab kesenangan. Lantas, kalau pengikat kesenangan masih terkait dengan sesuatu di luar diri, maka sesungguhnya kesenangan sejati itu tidak ada di dunia. Atau katakanlah, ada orang-orang yg bisa menyenangkan dirinya sendiri, entah dengan solo traveling, makan makanan enak, berbelanja, karir, atau lainnya. Tapi apakah ini benar-benar sebuah kesenangan sejati? Karena pada prosesnya, layaknya mendaki gunung- dibutuhkan serangkaian proses yang melelahkan dan bisa jadi tidak semenyenangkan itu, view yang dilihat di puncak lah yang pada akhirnya menyihir dan memabukkan.
Apakah kemudian lantas hidup itu adalah serentetan gerbong senang-tidak senang-senang-tidak senang hingga titik n dan tidak menemui gerbang akhirnya?
Tahun 2023, aku mendapatkan sebuah kesimpulan, entah bisa kusebut kesimpulan atau tidak- tapi tentu, ini hanya berlaku sementara, bisa jadi di masa depan, kebenaran yang kuperoleh akan berbeda. Segala pertanyaanku, mengenai apapun, akan berhenti ketika puncaknya adalah Tuhan. Mengingini Tuhan menjadi puncak hasrat. Kelezatan yang dikatakan para ulama tidak sebanding dengan apapun di dunia. Melihat Tuhan- yang biasanya melihat kita. Tidak sebanding juga dengan melihat segala raja terkemuka di dunia.
Kalau Emma Goldman misalnya menolak segala ketertundukan dan subordinasi manusia terhadap apapun, termasuk pada agama (entah dia menyebutkan Tuhan secara spesifik atau tidak, bacaanku belum selesai:) - Tuhan, maka sejatinya ada tingkatan hirarki yang berbeda yang dicoba samaratakan olehnya. Pemerintah dan negara tidak setara dengan Tuhan. Menjadi subjek yang tunduk dan tidak sadar di bawah negara berbeda dengan menjadi subjek yang tunduk di bawah Tuhan.
Maka, tunduk kepada Tuhan bukanlah kalimat pasif, justru manusia yang menyadari hakikat dirinya, mengenali dirinya, dan mungkin bisa berangkat dari pertanyaan di atas untuk mengerti tujuan hidupnya, dan apa yang dicarinya- adalah melalui proses berpikir yang aktif. Apakah prosesnya berhenti di berpikir? Tentu tidak.
Ini juga fenomena yang sering saya saksikan di Yogya. Saya melihat orang-orang yang mengimani Tuhan dengan segala hormat dan ilmu pengetahuan, tapi terhenti pada aktivitas ibadahnya, sebut saja salat. Apakah orang yang salat mengimani Tuhan tidak dengan cara berpikir dan hanya mengikuti dogma yang dibangun keluarga dan agama sejak kecil? Tidak juga.
Maksud saya adalah, "after this, then what" setelah menemukan kebenaran dan Tuhan yang maha kuasa, yang hirarkinya berbeda dengan negara, pemerintah, dan segala raja-raja, apa yang harus kita lakukan? Kalau mengambil analogi cinta pada pasangan, tentu bentuk cinta dan kepercayaan terealisasi melalui serangkaian aksi. Orang-orang kini menyederhanakannya menjadi lima (atau lebih) bahasa cinta. Ada yang berbentuk jemputan sepulang kerja, ada yang berbentuk masakan yang siap hidang tiap pagi di meja makan, ada juga yang berbentuk sentuhan hangat dan saling balas senyuman. Ketika dalam hubungan percintaan itu, kita tahu kita sedang mencintai, pasangan juga tahu bahwa ia sedang dicintai. Perasaan ini kemudian membawa perasaan yang tenteram tiada Tara dalam hati. Menginginkan waktu berhenti agar segala memori bisa kekal.
Tulisan ini, tentu bisa dipatahkan sana-sini dengan beberapa premis, saya pun belum bisa menyimpulkan betul bagaimana sebenarnya bentuk paling indah menuju-Nya, dengan berbekal segala hal di dunia, dan mencapai sebaik-baiknya kenikmatan yang bisa dicapai manusia. Tapi diri saya tahu, bahwa mempercayai Tuhan, patuh dan taat terhadap aturan dan anjuran-Nya, bukanlah bentuk ketertundukan pasif tanpa berpikir.
Maka, "after this, then what", bisa menjadi pintu awal menuju kebenaran hakiki. Ah jadi ingin bercerita sedikit. Akhir tahun 2022 sepertinya, aku bertemu teman, dan dia bercerita banyak tentang teman lainnya yang kini telah sukses; ibadah umroh, tabungan ratusan juta (dari mulut temanku), karir baik. Sebenarnya aku pun mengetahui hal ini, dan ya, merasa senang dan biasa saja. Good for him. Lantas, kalimat berikutnya, temanku ini membandingkannya denganku, karena mungkin aku belum terlihat sukses di matanya; aku belum memakai serangkaian pakaian branded walau sudah bekerja hampir 2 tahun, tidak berangkat umroh, dan lain-lain yang terlihat di permukaan. Namun perbandingan itu nampaknya salah tuan. Aku itu tidak iri, justru aku sebenarnya tidak melihat "ratusan juta" di usia 23-25 sebagai indikasi kesuksesan atau kebahagiaan. Bahkan umroh sekalipun menurutku bukan tolak ukur kedekatan dengan Tuhan. Ada tulisan menarik mengenai ini oleh Ali Mustafa Ya'kub, mengenai ibadah Haji dan kesalehan sosial. Dan menurutku- sepakat dengan beliau, haji itu wajib, tapi hanya sekali, sedangkan umroh itu sunah. Di sisi lain, membantu tetangga yang kelaparan, membantu biaya pendidikan anak janda yang ditinggal mati suaminya, menolong lansia miskin tanpa anak, itu sunah muakad, posisinya hampir setara dengan "wajib", yang apabila satu orang tidak ada yang membantu, maka semua orang selingka (tetangga/sekampung) semua turut berdosa di mata Tuhan.
Setelah umroh, then what? Umroh lagi? Esensi ibadahnya jadi sangat personal dan individual, padahal esensi agama Islam bukan seperti itu. Tapi apakah pandanganku terhadap umroh itu buruk? Ya tidak dong. Namun, umroh sekalipun, seharusnya dilakukan muslim ketika kewajiban sosialnya telah dilaksanakan. Umroh itu ibadah yang mahal, dan mungkin kita bisa berefleksi sejenak, sudahkah kita beramal setidaknya menyamai biaya tiket pesawat ke Jeddah itu.
Islam itu, Rahmatan lil 'alamain, Rahmat bagi seluruh alam, yang di alam itu ada manusia dari segala kelas, ada batu, ada tumbuhan, ada angin, ada tanah, dan semuanya kecuali Tuhan, itulah alam berdasarkan pengertian ilmu Tauhid. Tetapi, ketika muslim, melalui sumber daya kapital, justru menjadikan agama sebagai simbol-simbol kesalehan individual, maka muslim sejatinya gagal memahami esensi Islam itu sendiri. Tidak usah jauh-jauh berangkat dari "after this what?", kalau hal sesederhana itu saja belum tuntas.
Lantas, bagaimana menuju Tuhan dengan segala keindahan, ketika kita tidak bisa melihat keindahan menjadi manusia di pelupuk mata sendiri?
Komentar
Posting Komentar