Pamrih itu kolonial. Kolonial itu kita Sendiri.
foto diakses dari: https://id.pinterest.com/pin/97390410685580219/
Quotes tentang kemiskinan yang ditulis oleh orang-orang kaya, setengahnya tidak
bisa dipercaya.
Aku tidak tahu mengapa, orang-orang kaya kerap mendefinisikan orang miskin
semau mereka. Gambaran orang miskin itu diperoleh dari isi kepala mereka
sendiri terhadap orang miskin. Ketika memberikan bantuan kepada “si prihatin”, sudah
tergambar dalam kepala si pemberi bahwa si prihatin akan mengucapkan terima
kasih berulang kali, kalau bisa sambil menangis. Orang miskin yang sudah diberi
bantuan itu sudah beharusnya bersyukur dan tidak melunjak, menjadi orang baik, dan
kelak menjadi orang yang sukses (versi si prihatin). Aku dan kita mungkin termasuk
orang-orang yang seperti ini tanpa sadar. Walaupun ketika memberi tanpa pamrih,
diam-diam pasti mengidamkan minimal kata “terima kasih” dari orang yang kita
bantu. Lantas, ketika kita tidak mendengarnya, kita akan memiliki asumsi-asumsi
di kepala bahwa si prihatin itu adalah orang yang tidak tahu terima kasih. Sebenarnya,
sejak awal kita pamrih atau tidak? Kita ini berekspektasi apa sih?
Aku akan mengambil beberapa contoh kasus random yang terlintas di kepala. Masih
ingat kasus dr. Richard dan Farel? Kronologi singkatnya kurang lebih begini, Farel
si anak miskin viral- Farel diangkat anak- Farel disekolahkan dr. Richard di
sekolah bergengsi di Palembang- Farel meminta berhenti sekolah karena alasan
mental dan rindu rumah- dr. Richard meminta Farel mengembalikan uang sekolah
yang telah disetorkan ke sekolahnya senilai 47 juta- netizen menghujat Farel
hingga kini sebagai anak tidak tahu diuntung.
Entah dr. Richard, entah netizen, bertindak layaknya kolonial. Mereka
adalah orang-orang yang seumur hidupnya mungkin belum pernah miskin. Respon Farel
yang ingin keluar dari sekolah semata dianggap sebagai tindakan tidak tahu
terima kasih, walaupun memang YA, ada sekian puluh juta biaya yang telah
dibayarkan oleh si dokter. Tapi entah Farel melanjutkan sekolahnya di sana atau
berhenti, uang itu tidak akan pernah kembali dan menjadi uang hangus toh? niat
baik si dokter tentu patut diterima, ia ingin Farel menjadi anak yang sukses
melalui jalur pendidikan, tetapi kalaupun tidak, bukan haknya untuk mengatur
arah hidup Farel. Farel adalah satu individu yang bebas, kebetulan ia nampak prihatin
dan kemudian diangkat anak oleh si dokter.
Dari sudut pandang Farel, pernahkan orang-orang kaya itu berpikir betapa
sulitnya orang miskin satu lingkungan dengan orang-orang kaya lainnya? Orang miskin
hidup dengan makanan seadanya, pilihan untuk menu sarapan, makan siang, atau
makan malam adalah apa yang tersedia di atas meja. Sejak awal uang jajan sudah
di bawah UMR Yogya, cukup untuk ongkos dan beberapa cemilan murah. Tiba-tiba,
dalam waktu yang singkat, mesti berada di lingkungan anak-anak yang setiap masa
liburan pergi ke Maldives, Singapure, atau minimal ke Bali, ya akan membuat insecuritasnya
meningkat. Yang sedang kita bicarakan adalah anak usia SMA kelas 10. Farel secara
sengaja atau tidak, pasti akan membandingkan hidupnya yang tidak seberuntung
anak-anak lain. Let say “Farel kan sudah diangkat menjadi anak, dia
sudah setara dengan yang lain”, tapi orang tua mana yang rela meminta uangnya
kembali atas biaya pendidikan yang seharusnya ia keluarkan? Kalau Farel bilang
ia keluar karena kondisi mental, aku seratus persen akan percaya. Hingga sebesar
ini saja, aku terkadang membandingkan kualitas pendidikanku dengan teman-temanku.
Misalnya, kalau aku terlahir kaya raya melimpah ruah, aku pasti memiliki kesempatan
untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik di Indonesia (dan mungkin dunia), aku
bisa mempelajari bahasa-bahasa asing sedini mungkin, aku bisa mengakses semua
ilmu pengetahuan dengan mudah, kalaupun sulit, aku memiliki orang-orang yang
ahli di bidangnya untuk menjawab keresahanku. Farel itu adalah representasi
orang miskin yang didefinisikan semaunya oleh orang kaya! Dan kita, mungkin sering
kali berbuat demikian kepada orang-orang di sekeliling kita.
Orang miskin, seakan-akan harus diliputi oleh perasaan syukur dari sedikit
rejeki yang mereka dapatkan sehari, orang miskin tidak boleh brutal dan harus tahu
diri, kalaupun brutal, pasti yang disalahkan adalah lingkungannya, atau didikan
orang tuanya. Etika-etika orang kaya digunakan untuk membaca perilaku si miskin
yang hidup sehat saja sudah untung, boro-boro mendapatkan kelas etika
makan di meja makan atau etika dalam berbicara. Orang miskin itu hidupnya
sederhana, tidak memiliki siasat jahat, karena apa? Karena dia orang miskin. Sudah
sepatutnya menjadi baik. “Kalau tidak kaya, minimal tidak menjadi orang jahat
lah”. Seperti slogan yang biasa kita dengar bukan? Orang miskin dalam slogan
bahkan tidak dibiarkan untuk brutal, kejahatan hanya berhak dimonopoli oleh
orang-orang kaya saja.
Aku pun sebenarnya pernah berlaku seperti kolonial pada beberapa kesempatan.
Seperti kejadian di suatu siang tahun 2017-an, aku melihat orang buta yang
berjualan kerupuk. Matahari begitu terik di Ciputat, dia benar-benar berdiri di
tengah terik dengan memegang satu payung, dan tangan lainnya memegang kerupuk. Datanglah
aku hendak membeli, sejak awal aku sudah niat, berapapun harganya, aku akan
memberikan uang 20k untuk bapak itu, asumsiku, harga kerupuk kecil itu paling
mahal 5k-lah. Ternyata aku salah! Harga kerupuknya 25k. Aku yang semula ingin
membeli karena bapak itu nampak prihatin, perasaanku jadi berubah ke perasaan
dongkol. “kok bisa-bisanya ia jual kerupuk biasa ini dengan harga yang sangat
mahal!” walaupun begitu, aku tetap membelinya. hatiku bergejolak, ya persis
seperti apa yang aku gambarkan di atas. Aku menganggap si bapak berlaku licik dan
menaikkan harga secara tidak wajar, aku melihat “dosa” kelicikan itu dua kali
lipat lebih tebal dibandingkan kalau aku membeli kerupuk ke orang biasa. Aku sejak
awal sudah mendefisikan bapak penjual kerupuk yang buta itu prihatin, lantas aku
juga yang mendefiniskan bahwa orang prihatin yang “hendak” dibantu seyogyanya
bersikap baik dan tahu terima kasih. Padahal, di sini, yang salah ya aku,
kepalaku, ekspektasiku!
Padahal, terserah si bapak mau menjual kerupuknya dengan harga berapa,
kalau tidak mau beli, ya tidak usah beli. Sesimpel itu bukan? Aku yang
memandang si bapak dengan tatapan prihatin yang butuh dibantu, lantas menggumamkannya
licik karena ia menaikkan harga beberapa ribu, sangat nampak seperti kolonial
bukan? Lantas, misalnya kejadian itu berlaku kepada orang-orang biasa lainnya,
aku mungkin akan biasa saja, karena aku tidak menaruh prihatin pada mereka. Sangat
bias bukan?
Dalam konteks
yang lebih luas, bahkan aku sempat mewajarkan setiap info di media tentang
pejabat yang “lagi-lagi” korupsi. Padahal ya itu tidak wajar! Kenapa kelicikan
yang dilakukan oleh orang-orang miskin itu begitu nampak, dan kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang kaya hanya menjadi pemakluman? Apakah kita, manusia
biasa dari kalangan menengah ini, hanya berani kepada orang miskin saja karena
kita lebih punya uang? Atau kita yang terlampau tidak bisa berbuat apa-apa atas
apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih kaya dan lebih berkuasa atas
kita? Yang kemudian akhirnya menghasilkan respon yang “diam saja”.
Komentar
Posting Komentar