Memilih Jalan Tidak Bahagia

 

Foto dari koleksi pribadi Vini


Barangkali tulisan ini menjadi bagian dari meracau, sebab kepalaku sendiri belum bisa mengabstraksi hingga final kemana muara hal-hal yang sedang kupikirkan ini, dan apa tindak lanjutnya, apa CTA atau RTL- nya kalau ada?

Selama ini aku melihat, tubuh bisa memilih untuk menjadi senang dan sedih, walau dalam banyak kesempatan ketika kesedihan datang, tubuh merespon dengan emosi-emosi yang bisa jadi dalam kendali, bisa jadi juga di luar kendali. Pengalaman ini tentu secara lebih spesifik membicarakan pengalaman pada tubuhku sendiri, sehingga apa yang kusampaikan di sini sangat patut diperdebatkan kalau sekiranya berbeda dengan kawan-kawan pembaca.

Pada proses sedih, kecewa, marah, aku butuh beberapa waktu untuk mengerti perasaanku sendiri, menerima emosi tersebut sebagai “jenis emosi alamiah” pada manusia, lantas secara auto pilot, kepalaku mencari jalan keluar, atau setidaknya mencari jalan untuk keluar dari emosi yang tidak nyaman tersebut. Usaha tersebut tidak membuahkan hasil dalam sekali coba, lantas aku mencoba kembali sambil meresapi perasaan yang sedang bergejolak di dada, pada percobaan ke sekian, akhirnya emosi-emosi tersebut menjadi netral. Proses ini di tubuhku terjadi dalam kurun waktu yang menurutku cepat. Apalagi setahun belakangan, jika dapat mengidentifikasi rapor emosiku, maka akan didapatkan 65% senang, 10% sedih, marah, kecewa, dll, dan 25% adrenalin. Intinya dalam penjelasan panjang lebar ini, aku tahu cara membuat diriku sendiri bahagia. Bahkan, adrenalin juga termasuk emosi yang sangat kusuka, tupoksinya mungkin bisa lebih dari 25% dalam keadaaan tertentu.

Emosi bahagia itu sangat individual. Aku menikmatinya sendiri, atas proses-proses yang bisa jadi kulakukan sendiri. Tetapi, lebih seringnya, aku juga turut melibatkan orang lain sebagai sebab musabab diriku ini bahagia. Misalnya, sesimpel kehadiran orang-orang di sekelilingku, entah teman yang menemaniku ke rumah sakit, entah teman yang menemaniku bicara tentang tikus got, entah siapa pun yang menemaniku ketika bengong.

Tetapi, hari ini, baru siang ini, aku merasa memilih jalan tidak bahagia-pun tidak apa-apa. merasa tidak bahagia karena masalah orang lain juga tidak apa-apa. Sekitar satu tahun belakangan juga, aku cukup selektif dalam mendengarkan, karena setiap emosi yang dikeluarkan orang-orang di sekelilingku padaku, ikut terserap padaku. Aku ikut memikirkan bagaimana perasaan dan luka orang-orang terdekatku. Energiku habis. Aku ikut bersedih hingga kubawa kesedihanku pada Tuhan dalam salat-salatku. Tidak sok relijius, tapi memang tidak ada beban yang akan kupikul tanpa kuberitahu Tuhan, dan mungkin itu sebabnya hari-hariku di Yogya terasa ringan saja, tidak ada hal yang membuatku kehilangan nafsu makan atau tidak bisa tidur di malam hari. Patah hati, luka, dan emosi baru terus hadir saban hari, tetapi ya itu aku maksudkan sebagai pengalaman kemanusiaanku saja. Walau kadang pelik dan mungkin butuh tenaga profesional sebagai sebuah “jalan” juga.

Tetapi kini, aku rasa menjadi tidak bahagia atas pengalaman kemanusiaan orang lain itu tidak apa-apa. Emosinya juga tidak apa-apa mengendap, agar aku paham dan selalu ingat tugasku sebagai manusia barangkali adalah ikut serta dalam pengalaman orang lain. Entah aku terlibat secara langsung atau tidak langsung.

Salah satu pertanyaan menggugah yang membawaku pada kontemplasi ini adalah pertanyaan Mas Rimba, “Kenapa kamu ikut acara ini?”

Ini adalah bunyi pertanyaan normatif-eksploratif. Sebelum aku jawab, aku sudah memikirkan bahwa jawabanku bisa saja menjadi stigmanya atasku- orang yang baru dikenalnya di forum. Lantas, setelah memikirkan beberapa detik, aku menjawab “agar aku paham apa yang sedang diperjuangkan teman-temanku”. Jawaban yang juga normatif, melibatkan orang lain, tidak bertanggung jawab, dan menjadi pernyataan tertutup.

Pada akhirnya, racauan ini akan meninggalkan sedikit konteks. Sore ini, tepatnya di gedung sederhana dekat Tamini Square, aku mempresentasikan bacaanku yang baru berusia seminggu tentang Wadas. Lantas setelah diskusi panas dan alot di forum, aku justru memikirkan, kalau semua orang apatis dan menginginkan “kebahagiaan” partikular seperti aku, lantas siapa yang akan memikirkan soal tanah masyarakat Wadas yang direbut? Kalau semua orang sibuk dengan kebahagiannya masing-masing, maka satu-satunya duka adalah kehilangan atau tidak punya uang, padahal diri teropresi setiap hari oleh sistem dan negara- yang menciptakan habituasi baru tentang makna bahagia pada barang-barang mahal, pada poto-poto pesawat terbang, pada glorifikasi luar negeri, apalagi menyoal gaji dua digit. Maka rasanya, tidak bahagia juga tidak apa-apa, tidak bahagia karena menanggung kesadaran dan hasrat untuk melawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak