Tentang Hutang dan “Supaya Silahturahmi Tidak Terputus, Pinjam Dulu Seratus”
Belakangan,
saya sering sekali menemukan meme dan sederetan quotes di
instagram, tik-tok, di kolom komentar, tentang bagaimana seharusnya manusia
perlu bersikap kepada orang lain. Misalnya tentang hutang, yang meme-nya sedang
sangat panas di Indonesia. “supaya silahturahmi tidak terputus, pinjam dulu
seratus”. Sekilas memang terdengar cukup lucu. Tetapi sesungguhnya mungkin kata-kata
itu muncul dari perilaku masyarakat yang gemar berhutang, dan enggan membayar
tepat waktu, sekalipun membayar, yang ditagih akan jauh lebih galak, pun yang
menagih biasanya sungkan untuk terus menagih.
Refleksi mengenai hutang ini
ingin saya deskripsikan lebih jauh. Saya punya beberapa kali pengalaman menjadi
orang yang sering “dihutangi”, baik oleh teman-teman atau oleh saudara dekat. Sebenarnya,
memberi orang lain hutang ketika mereka membutuhkan adalah sebuah kebaikan. Nabi
bahkan dalam beberapa hadis khusus berbicara mengenai hutang, dan kemuliaan
orang-orang yang membantu sesamanya. Sayang sekali, sekarang hutang justru
memiliki konotasi sangat negatif, seakan-akan orang yang berhutang hendak
merampok, ada trust issue yang sedemikian tinggi yang dibangun oleh pengalaman
manusia sendiri, dan terlebih oleh framing media.
Memang, untuk jumlah yang
terlampau banyak, kita mesti double re-check kepada siapa kita memberi hutang,
apalagi kalau kondisi keuangan kita juga pas-pasan. Namun, yang ingin saya katakan
adalah, walaupun ada satu dua pengalaman tidak baik dalam membantu orang lain (berupa
hutang), jangan sampai itu mempengaruhi teman-teman pembaca untuk berhenti
menjadi orang baik. Anggaplah ada orang meminjam lima ratus ribu, bilangan yang
tidak terlalu besar untuk kita, pun gampang kita mengeluarkan uang sejumlah
itu. Seharga makan udon 5x, seharga makan anak kosan biasa 5 hari, seharga 1
buah sepatu, tetapi ternyata jumlah lima ratus ribu, ketika dipakai oleh orang
yang sangat membutuhkan, bisa membeli sekotak susu untuk anaknya, dan dua
minggu sayuran dan protein harga sedang untuk keluarganya. Angka tersebut juga bisa
membantu kawan membayar uang SPP sekolah adiknya, sungguh, betapa uang yang sangat
duniawi ini bisa membantu orang lain hidup tanpa harus mengemis dan menjual
harga diri mereka. Bilangan yang sangat kecil, tapi saya dengan senang hati mengeluarkannya.
Dan tentu perlu diingat,
karena akadnya hutang, maka pada suatu waktu, uang itu bisa ditagih. Islam pun
mengajarkan seperti itu toh, dan ini pula yang saya praktikkan beberapa tahun
belakangan. Saya tidak ingin membuat hutang menjadi jalan pemutus silahturahmi,
karena itulah, setiap hutang (pov saya sebagai pemberi hutang), berapa pun jumah
nominalnya akan saya tagih. Kalau memang yang ditagih sedang tidak ada, tidak
apa-apa, asal ia berjanji untuk mengembalikannya kapan pun. Perilaku ini
sekaligus sebagai upaya edukasi tanggung jawab kepada saya sendiri dan orang
lain di sekeliling saya, bahwa ada hak orang lain yang suatu saat mesti dikembalikan.
Apakah ada case saya
mengikhlaskan saja sejumlah uang yang dipinjami? Tidak ada. Lagi-lagi, akadnya
adalah hutang, maka saya membantu dengan memberikan hutang. Kalau saya
ikhlaskan, menurut saya, saya justru mengajarkan orang-orang di sekeliling saya
menjadi pasrah dan tidak bertanggung jawab. Maka uang itu, seyogyanya selain
menjadi bentuk kebaikan, itu juga merupakan tanggung jawab. Tentu akan ada
pengalaman tidak baik satu dua terkait hutang ini, tetapi kembali lagi ke tujuan
membantu orang lain, maka rasanya ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah
selesai seumur hidup, karena setiap manusia unik, dan kita tentu tidak bisa
melakukan generalisasi satu case mewakili semua polulasi kan.
Pada akhirnya, hutang
menjadi salah satu cara memandang diri sendiri dan memandang orang lain. Sekalipun
sekarang atau di masa depan, orang-orang yang kita bantu justru berlaku tidak
baik bahkan sampai memutus silahturahmi, saya berharap ini tidak lantas
mengubah pribadi kita sama dengan mereka dengan melakukan hal yang serupa. Kita
adalah kita, bagaimana orang lain memperlakukan kita, tidak lantas secara
gamblang mendefinisikan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Kita mesti berbeda.
Ini adalah part 1 dari how
people treat me doesn't define how i treat them.
Komentar
Posting Komentar