Standarisasi Abstrak
Photo diambil dari dokumentasi pribadi
Kita semua tumbuh, dari segi fisik hingga kedewasaan. Tetapi,
sejauh mana kita menyadari perubahan kita setiap hari, setiap minggu, setiap
tahun? Kesadaran akan diri sendiri itu tidak hanya datang di momen yang tepat,
tetapi juga bisa digali, dicari. Di sini aku ingin menjelaskan rangkuman kesadaranku
beberapa tahun belakangan, yang bisa saja belum matang secara sempurna, tapi
aku per hari ini menghargai luar biasa ketidaksempurnaan ini. “Tidak sempurna”
itu juga sebuah kesadaran, bahwa masih banyak sekali hal di dunia yang aku
tidak pahami, dan tidak paham itu tidak apa-apa, selama diikuti kesadaran lain
bahwa berlama-lama dalam keadaan “tidak mengerti” tidak akan menghasilkan apapun
kecuali kejumudan.
Tentang kesadaran yang dua hari ini terlintas dalam kepalaku,
lalu kucatat di note gadget, akhirnya ada waktu untuk menuliskan setitik slice
of life akan standarisasi pasangan. ini bukan hal yang terlalu serius, aku
hanya ingin merangkum isi kepalaku hari ini, yang mungkin bisa jadi akan
berubah di masa depan, justru karena ada kemungkinan berubah, aku tidak ingin
melupakan pengalaman-pengalaman “berpikir”-ku yang asik ini, dan satu-satunya
cara ingatanku tersambung dengan memori berpikirku sendiri adalah melalui media
tulisan, aku tidak tahu ada opsi lain yang lebih bagus dari ini.
Di bangku SMP, dipengaruhi oleh konteks pesantren, aku menyukai
orang-orang yang cerdas, minimal baik dalam pelajaran ngajinya. Secara subjektif,
aku menyukai laki-laki yang tinggi, minimal sekali lebih tinggi dariku. Sisanya
fleksibel. Orang-orang yang pernah dekat denganku pada masa SMP memiliki kriteria
tersebut, tetapi bolanya bukan dari aku. Artinya aku dulu turut mengamini bahwa
perempuan itu adalah yang “dipilih”, walaupun aku pun memilih, tetapi menurutku
proses “memilih” ini sudah ada di layer kedua, karena aku memilih dari pilihan-pilihan
yang sudah ada, dan bukan murni dari siapa yang aku sukai sesungguhnya. Hal yang
aku ingin highlight sekali adalah, “ganteng”-yang sesuai dengan standar
orang-orang- itu tidak menjadi hal yang krusial untukku.
Beranjak ke bangku SMA, setelah mengalami pengalaman cinta
monyet di SMP yang tidak ingin kuulang, di hari pertama sekolah- turut
kutuliskan di belakang buku tulis kimia, bahwa aku tidak ingin pacaran lagi,
kalaupun iya, minimal ada screening dulu 4 bulan, kalau dalam 4 bulan aku masih
menyukai seseorang, artinya aku betul menyukainya, kalau tidak, ya berarti itu
hanya sebatas ketertarikan semu. Pengalaman di SMA menurutku sudah setitik
lebih dewasa, karena aku benar-benar melakukan screening dengan baik, dan standarku
secara garis besar masih di “orang yang cerdas”, tetapi ada fleksibilitas yang
lebih banyak untuk poin “tinggi badan”. Karena bagaimanapun, tinggi badan itu
tidak mempengaruhi kecerdasan atau karakter seseorang. Itu transisi “kesadaran”
awal yang kupahami di bangku SMA.
Memasuki masa S1, aku melihat segalanya yang belum pernah
kulihat, aku merasakan banyak pengalaman yang belum pernah kurasakan, kemudian standar
mulai terbentuk dengan sendirinya, standar yang mulai tidak terdefinisi, karena
aku mulai jemu dengan orang yang “cerdas”. Cerdas yang kumaksud makin blur dan abu-abu.
Tapi di masa kuliah, aku memiliki pengalaman baik dengan seseorang yang baik juga.
Dia cerdas secara emosi, kecerdasan yang tidak bisa aku jelaskan juga.
Berganti ke masa kerja kantoran, dunia yang kulihat makin luas,
sangat luas. Aku mulai punya kacamata yang lebih beragam juga dalam memandang
suatu hal, melalui bermacam proses dan pengalaman, aku mengalami peningkatan
yang cukup baik di komunikasi, hubungan sosial, negosiasi, dan lainnya. Karena perubahannya
belum terlalu nampak signifikan, masa ini berlanjut ke masa magister, aku di
kelas mempelajari 6/7 mata kuliah yang base-nya adalah ilmu filsafat. Aku semakin
belajar cara berpikir dan jalan menuju kebenaran yang paling dekat dengan
kebenaran. Standarisasi pun menjadi lebih super abstrak. Doaku pada Tuhan juga
sama abstraknya, hanya menggunakan terma “yang terbaik menurut engkau saja lah
Tuhan”. Tetapi di sisi lain, aku menyadari betapa aku tertarik pada orang yang mindfulness,
ini juga poin yang tidak bisa kujelaskan. Intinya adalah bukan bicara tentang “cerdas”
lagi, melainkan bagaimana konstruksi berpikir seseorang mempengaruhi tindakan dan
karakternya.
Aku percaya, segala keputusan dan tindak tutur seseorang itu
merupakan manifestasi dari struktur pikirannya. Karena itulah, aku berusaha melakukan
yang terbaik pada semua aspek. Termasuk menyayangi pasangan. Sayang pada orang
lain di luar diri sendiri, di luar keluarga, menurutku merupakan pengalaman
yang mendebarkan. Sedikit waktu yang kucurahkan dalam proses tersebut justru
kadang-kadang bisa mempengaruhi sisa waktu lainnya. Aku menyebutnya “kenangan”.
Pada akhirnya, dari serentetan pengalaman tersebut, aku menyadari bahwa aku
tidak menyesali apapun keputusan yang kubuat secara sadar, termasuk keputusan memilih
untuk menjalani hubungan atau mengakhirinya, karena ya, aku, menurutku, sudah
melimpahkan yang terbaik yang kubisa, meluberkan toleransiku atas segalanya
karena lagi-lagi kesadaran bahwa pasangan juga merupakan subjek yang otonom.
Komentar
Posting Komentar