Ramadhan: Sebuah Catatan Kaki di Kosan

 


                                                                                                            sumber photo: koleksi jepretan penulis

Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu tidak dapat jatah puasa di awal Ramadhan, tahun ini pun begitu. Aku memulai tarawih pertamaku beberapa malam lalu. Ada sebuah culture shock, ternyata rata-rata masjid atau musala di Jogya melaksakan salat tarawih dengan formasi 4+4+3, tanpa tasyahud awal. Ini sebuah pengalaman baru untukku. Malam besoknya aku berhenti tawarih di masjid, ada kegelisahan di dalam diriku yang menolak untuk ikut serta, mungkin hal ini juga dilatarbelakangi oleh background pesantren selama 6 tahun. Pesantren salaf, pesantren yang sangat fokus pada aspek fikih. Termasuk bab Salat yang dibahas di kitab hampir 2 jilid sendiri. Aku akan mengikuti apa yang aku pelajari, tanpa konfrontasi terhadap perbedaan tentunya. Namun ini bukanlah poin yang ingin kusampaikan di sini. 

Malam-malam selanjutnya aku salat tarawih sendirian di kos. Mengambil formasi 23. Mungkin sedikit kuceritakan bahwa malam sebelumnya aku hanya tidur 2 jam setengah, lalu dilanjutkan sahur, dan kemudian aku tidak tidur lagi. Hari itu, aku kuat berpuasa tapi energiku seperti zombie. Aku membaca dan mempelajari banyak hal, tapi aku tahu bahwa tubuhku butuh istirahat. Badan yang lelah, mata yang ingin diajak tidur. Posisi salatku sangat berdekatan dengan ranjang, menggoler sedikit aku pasti sudah pingsan sampai pagi. Malam itu aku tarawih, niat semula akan melaksanakan 8 rakaat saja tetapi akhirnya tuntas di 23. Ketika menjelang rakaat 12, tubuhku rasanya tidak mampu lagi diajak berdiri. Dalam salatku kemudian terbesit, mengapa salat yang hanya kukerjakan 30 menit ini rasanya sungguh menyita energiku, rasanya ingin cepat-cepat kuakhiri, padahal dalam 24 jam, 30 menit ini bisa saja hanya kuhabiskan sia-sia dalam scrolling instagram atau youtube, bahkan satu webtoon yang kubaca saja mengambil 5-10 menit waktuku, mengambil jatah waktu usiaku. Lantas, kenapa aku begitu berpayah-payah pada aktivitas ibadah ini, padahal Tuhan menjamin ketenangan batinku dengan salat, dan mungkin memberikan serpihan pahala kalau salatku ini diterima-Nya dengan baik.  Lantas kenapa aku seperti merasa terpaksa.

Setelah salam aku berhenti sejenak. Tidak ingin cepat-cepat menuntaskan salatku. Aku duduk dan memikirkan hal yang terbesit dalam otakku ketika salat tadi dalam gambaran yang lebih utuh. Salat di rakaat ke dua belas itu menjadi perantara pada ruang ide dan kontemplasi yang lebih luas, sekaligus TIDAK KHUYUK tentunya. Lalu aku sampai pada kesimpulan, betapa tidak tahu dirinya aku, dari 24 jam yang Tuhan beri untukku setiap hari, mungkin hanya kurang dari seperlapannya aku habiskan untuk Tuhan, itu pun karena terbantu salat wajib 5 waktu, kalau tidak ada ibadah yang diwajibkan itu, rasanya akan susah mendamprat diri sendiri untuk selalu ingat tempat pulang. Kemudian, atas kewajiban salat sendiri, malam itu, aku berterima kasih Panjang pada Tuhan.

Beberapa waktu belakangan juga, aku mulai peka terhadap etika bertemu Tuhan. Etika meminta dan mengeluh pada Tuhan. Doa-doa berbahasa arab mulai berganti ke bahasa apapun yang keluar dari mulutku, Bahasa Indonesia, Bahasa Aceh, Bahasa Inggris, dan Bahasa Korea sesekali dan mungkin paling banyak diawali dengan kata “Oetokke dan Wae”. Aku membiarkan diriku lebur dari batasan bahasa yang sebenarnya hanya alat untuk mendiskripsikan abstraksi diriku. Kemudian, dari setiap ide utama doa selalu kuawali dengan “tolong bantu”. Dulu, aku langsung meminta pada-Nya apapun tanpa tahu malu, kadang-kadang doa yang berwujud paksaan, kadang-kadang aku menuntut Ridha-Nya atas hal yang kupandang baik. Padahal, Ketika aku meminta pertolongan kepada manusia lain, tutur kataku sangat baik dan tersusun, khawatir objek bicaraku tersinggung atas permintaanku. Tetapi pada Tuhanku, Tuhan yang menciptakan objek sungkanku, justru aku tampil apa adanya. Hal   Ini sama halnya dengan keluarga, yang entah kenapa dalam banyak hal kadang lebih sopan kepada orang lain dibanding kepada keluarga sendiri. Padahal yang mengurus Ketika sakit ya keluarga, tempat pulang Ketika dunia menolak juga keluarga, wadah pembela Ketika terjadi konfrontasi dengan manusia lain ya juga keluarga. Tetapi, keluarga juga menjadi objek nomor satu atas segala hal kasar dan kurang baik di dalam rumah, entah suami ke istrinya, entah istri ke suaminya, entah orang tua ke anak-anaknya, atau justru anak ke orang tuanya. Manusia acap kali berlindung pada paradigma “keluarga selalu ada dan menerima baik buruknya kita”. Padahal sifat buruk, dan kalau sudah sadar yang dilakukan itu buruk, ya lakukan evaluasi. Jangan mendefiniskan diri seolah karakter buruk itu akan melekat selamanya pada badan. Itu hal-hal yang bisa diubah dan dipelajari.

Kembali ke poin “tolong bantu”. Ketika mengucapkan kalimat ini dalam lantunan doa-doaku, egoku luruh, aku tidak lagi mendikte doa, dalam banyak hal justru aku selalu minta Ridha-Nya atas prosesku yang semoga baik. Karena proses yang baik hampir tidak mungkin hasilnya tidak baik. Kemudian aku minta segala hal baik yang standarisasinya terserah Tuhan saja. Tetapi, aku mampu menjanjikan untuk memantaskan diriku atas setiap rezeki yang kuterima. Rezeki berupa teman yang baik, lingkungan yang baik, jodoh yang baik, karir yang baik. Aku tidak tahu kapan, tetapi ketika kesempatan itu datang, aku akan menyambutnya dengan suka cita, dan akan kupastikan diriku telah siap menerima rezeki-Nya. “Tolong bantu” juga menjadi pelembut segala doaku, yang bisa jadi dikabulkan segera, bisa jadi ditahan, atau digagalkan-Nya sama sekali. Lalu hal ini membawaku pada kesimpulan dan keputusan lain di hidupku, yakni aku tidak akan menyesali hal-hal yang hilang dari diriku, apalagi kalau aku yakin sudah melakukan yang terbaik pada setiap hal. Kalau hilang, ya Tuhan mungkin tidak ridha, mungkin Tuhan menggagalkan rencanaku, mematahkan hatiku untuk tujuan yang lebih besar di masa depan, yang tentu saja hari ini belum bisa kutangkap dengan objek indraku yang serba terbatas ini. Di sisi lain, aku mencoba setiap hari berbaik sangka kepada Tuhan. Dan Aku selalu merasakan getaran “I almost there”, padahal abstraksinya saja belum kelihatan, tapi aku tahu kalau aku hampir sampai.

Tulisan pendek yang kutulis 20 menit sebelum berbuka ini ternyata rampung dengan jumlah kata yang tidak pendek-pendek amat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak