Ruang Aman

 



Yogyakarta itu padat, tapi aku belum penuh. Aku melihat jalan-jalan yang bernyawa, puluhan kafe yang hidup, tempat-tempat penuh kesepian dan keramaian. Aku hanya satu, tidak lantas membuat penuh satu ruang, ruang yang asing, yang aku sendiri belum mengenalinya dengan baik. Tentu saja, karena kita saling asing. Aku tahu pasti akan ada momen kota ini menjadi Ciputat keduaku. Atau justru bisa menjadi sebenar-benar “Jogya” pertamaku.

Aku okey. Aku menyukai banyak hal tanpa keluhan, aku menikmati kebingunganku pada berbagai objek, aku menyelami diriku sendiri yang tidak ahli pada banyak bidang, Aku menikmati nuansa manusia dan kemanusiaan pada diriku sendiri, kemudian aku mulai melihat orang lain dengan kacamata yang lebih lembut, mencoba menyentuh sisi baik setiap orang baru yang kutemui.

Jogya ini belum memiliki ruang aman bagiku. Aku belum memiliki kontak 1 yang bisa kutekan lama ketika siapa tahu aku dalam kondisi darurat. Jogya ini begitu asing setelah saling. Satu yang pasti, aku sudah melakukan sebaik-baik upaya untuk terus tumbuh secara emosi.

Minggu pertama di Jogya begitu berat. Aku bisa medekripsikan dengan baik setiap inci perasaanku atas segalanya. Adaptasi yang tidak mudah, jalinan pertemanan yang belum terbentuk, orang-orang yang kukenal nan sibuk dengan hidupnya masing-masing. Aku begitu asing, aku melihat Jogya sekecil jalanan komplek Samirono. Pun aku sepanjang hidup, untuk pertama kalinya ingin dipandang dengan mata “kasihan” setidaknya oleh satu orang. Beruntung, kontrol emosiku begitu baik, setidaknya kalian yang membaca ini tahu aku dari sisi “selalu nampak baik dan okey” bukan?

Aku memutuskan mengirimkan draf kecil ini di blog, aku ingin melihat satu tahun atau dua tahun ke depan bagaimana perubahan “aku” melihat Jogya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak