Kontemplasi

 

Sumber photo: koleksi photo pribadi

Maha suci Tuhan yang membuat aku menuliskan tulisan ini sebagai buah dari berbagai emosi yang aku alami hari ini. Aku ingin mulai dengan kilas balik backgroud pendidikan non-formalku di pesantren selama 6 tahun lamanya. Enam tahun juga aku belajar kekomplekan ilmu-ilmu dalam Islam melalui berbagai jenis kitab. Terutama fikih. Selama di pesantren aku memahami teks yang guru ajarkan, aku mengerti artinya, tetapi belakangan aku menyadari bahwa yang kusebut “mengerti” bukanlah sebuah interprestasi. Aku bisa membaca teks kitab-kitab kuning itu, tapi aku tidak menemukan ruh di dalamnya. Sama seperti aku membaca kitab undang-undang, yang hanya aku baca, mengerti, lalu tidak ada tindak lanjut dari aktivitas “membaca” tersebut pada diriku sendiri. Kekosongan itu ada di aku.

Tidak ada yang salah sebenarnya di sini. Hanya saja usia kognitif-ku saat itu memang belum bisa menginterprestasikan ilmu yang kudapat. Aku belajar dari sumber tunggal dan tidak memiliki komparasi, sehingga aku tidak tahu kondisi ideal dan tidak idealnya pembelajaran itu seperti apa. Kembali lagi ke Fikih, aku mempelajari kitab Fathul Mu’in di usia 15 tahun, tepatnya di bangku kelas 3 SMP. Kitab itu dimulai dengan bab Salat, sebuah rangkaian Ibadah yang sudah kukenal dan diwariskan orangtuaku sejak aku kecil. Dulu, aku membacanya hanya sampai pada tingkat pemahaman “ini boleh, ini tidak boleh, ini aturannya, dan seperti inilah praktik ibadah ideal yang harus di lakukan”. Ini mesti diakui, dan wajar saja, karena memang usiaku terlalu muda untuk menerjemahakan konteksnya dalam ruang yang lebih besar dan luas.

Malam ini, setelah bertahun-tahun aku mengambil lagi kitab Fathul Mu’in jilid 1. Aku buka dan baca dari muqaddimah hingga halaman 24, lengkap dengan harakat dan arti tipis-tipis yang dulu kububuhkan menggunakan pensil. Beruntung, pensil yang kugunakan sepertinya bagus, arti yang terselip di sela-sela arab gundul ini masih bisa terbaca dengan jelas. Campuran bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. baru sampai di halaman 10, aku menemukan pengarang kitab menyebutkan bahwa di antara nama-nama Tuhan, ada dua nama yang dibubuhkan dalam mengawali setiap hal, yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahiim dalam kata Bismillahirrahmanirrahim. Keduanya memiliki arti maha pengasih/penyayang, tetapi bila diurutkan, maka Ar-Rahman merupakan sifat Tuhan yang paling tinggi tingkatannya. Rahman menunjukkan sifat Allah yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Pengasih kepada suluruh hambanya, seluruh makhluknya. Aku berhenti di poin ini. Merefleksikan hari-hariku belakangan, hariku hari ini. Dengan Maha Sayangnya Allah padaku, bagaimana bisa aku merasa bodoh dan terabaikan hanya karena satu masalah? Atau aku bisa menyebutnya bukan masalah. Kilas balik emosiku hari ini hingga jari-jariku berakhir di word akan kuceritakan satu-persatu.

Aku memiliki teman dekat, dan karena trigger satu dan lain hal, aku merasa terabaikan dan tidak berharga. Justru karena dia aku anggap teman terdekatku, aku merasa kecewa dua kali lebih dalam dibandingkan jika orang lain melakukan hal yang sama padaku. Ada perasaan marah yang sulit diungkapkan, marah hingga sesak, marah hingga menangis, marah hingga aku tidak memiliki energi untuk melangkahkan kakiku untuk makan malam, marah hingga aku juga tidak memiliki energi untuk menelan makanan. Kalian pernah merasakannya? Aku baru malam ini. Perasaan marah ini campuran dari emosi sedih, kecewa, frustasi, kesal, tapi dalam keadaan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku letakkan handphoneku, istighfar, lalu menuju tempat tidur dan menutup diri dengan selimut. Aku peluk dan rasakan semua emosiku hingga selesai. 5 menit, 10 menit, 15 menit, 25 menit mataku mulai sayu, tetapi napasku masih panjang dan berat, dengan frekuensi yang cukup teratur. Artinya emosi marah yang sedang kurasakan ini konstan, rasional, dan tidak impulsif. Aku masih mengontrol emosi ini di tanganku dengan baik. Aku menghidari handphone sehingga menjauhkanku dari segala tindakan impulsif akibat perasaan yang sedang tidak baik.

Tidak lama, azan Isya. Aku salat. Beribadah. Hendak mengadukan hari-ku pada Tuhan yang Maha menjaga rahasia. Belum selesai doaku, Tuhan langsung menjawabnya melalui kilas balik rentetan aktvitasku beberapa waktu ke belakang. hari ini, hari yang kuanggap buruk justru menjadi hari paling baik. Tuhan menegurku dengan cara yang sangat halus, bahwa aku belakangan sudah “menuhankan manusia”, meletakkan fokus dan kesenanganku pada “manusia”, maka bukankah seharusnya aku siap dengan konsekuensi bahwa “manusia adalah ladangnya kekurangan dan cela?” Allah memberi kesimpulan atas premis-premis yang kubangun, yang dengan sadar dan tanpa sadar kurajut dalam hari-hariku.

Dari sana, entah ada angin apa, buku yang kuambil secara acak di rak adalah kitab Fathul Mu’in, dan bertemulah aku dengan sifat Tuhan yang maha Rahman dan Rahim. Rahim artinya Allah mengasihi hamba-Nya yang patuh pada-Nya, sedangkan Rahman adalah nikmat dan kasih sayang Allah pada seluruh hamba-Nya, baik yang salat, ingkar, miskin, pencuri, kaya, binatang, yatim-piatu, semuanya. Baik di dunia maupun di akhirat. Maka dengan keluasan kasih sayang Allah pada hamba-Nya, padaku, lantas mengapa aku menganggap diriku tidak berharga? mengapa aku merasa bodoh karena terabaikan?

Setelah pergumulan dalam otakku, aku memaknai nikmat Rahman Tuhan dalam masalahku hari ini. Mempercayai orang lain, memberikan respon yang baik, menyayangi orang lain di luar diriku sendiri adalah hal-hal terpuji, aku tidak lantas bodoh karena melakukan hal tersebut. Adapun respon balasan orang lain terhadapku, itu sungguh di luar kuasa diriku. Aku harusnya tidak menyesal telah melakukan kebaikan, karena memang itu yang seharusnya. Dan seyogyianya juga, respon orang lain tidak mempengaruhi pandangan hidup dan nilai-nilai yang kuanut. Tuhan dengan kasih sayangnya yang luar biasa meletakkan hari penghakiman di akhir, ketika manusia sudah musnah kemudian bangkit lagi. Maka, bukankah terlalu sepele dan dini untuk menilai diri sendiri tidak berharga?

Cintanya Allah maha luas, tapi manusia kadang sempitkan dengan menuhankan manusia dengan sayang yang berlebihan. Aku menyebutnya patah hati.

 







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak