Kesadaran: Seni Menjadi Manusia
Sumber Gambar: Jepretan Pribadi
Satu tahun lalu, saya
mendapatkan “sadar” memiliki makna yang cukup dalam. Di ruhani, berkaitan dengan
keterikatan hubungan manusia dengan Tuhan. Saya bertemu dengan kak Mastia Lestaluhu,
dan diajarkan banyak mengapa doa yang paling harus sering digaungkan kepada Tuhan
adalah agar diri senantiasa sadar.
Saat itu, saya
menyebutnya self awareness, yang menurut pemahaman saya adalah manusia yang
cukup cakap dalam mengontrol dirinya sendiri, mempertimbangkan baik buruk
ucapan dan kelakuannya, serta memiliki visi dan tujuan yang jelas mengapa perlu
melakukan sebuah aktivitas atau justru perlu meninggalkannya.
Dalam hal Ibadah,
“kesadaran” atau self awareness membuat manusia tidak menjadi mesin. Ibadah salat
misalnya, seharusnya menjadi sebuah bentuk syukur atas napas yang masih
terembus di hari itu, atas keluarga yang masih membersamai, atas cinta dari
pasangan, atas aktivitas yang masih bisa sibuk, atas tubuh yang masih sehat. Ya,
salat itu sebuah bentuk syukur. Sebaliknya ketika melakukan ibadah atas dasar takut semata dan
menggugurkan kewajiban, manusia mungkin kehilangan kesempatan melihat rahmat
Tuhan secara dekat dalam diri sendiri.
Kesadaran membuat
manusia mempertimbangkan keputusannya, terkait hal-hal penting atau tidak di
dunia ini. kita lahir dari hubungan kausalitas (percampuran Ibu dan Ayah), pun ketika
lahir sudah ada konsep surga neraka sebagai konsekuensi. Di dunia pun, dalam
banyak aktivitas kita senantiasa dalam transaksi kausalitas. Misalnya siapa
yang paling rajin, maka ia pandai. Siapa yang paling bersih, maka ia sehat. Nah,
begitu juga terkait anjuran dan larangan Tuhan kepada hamba-Nya, semua memiliki
sebab. yang kalau direnungi dengan baik, kita mungkin akan mencapai kesimpulan
bahwa ternyata cinta-nya Tuhan besar sekali. Tuhan sudah larang minum minuman
yang memabukkan karena dampaknya bisa sebegitu fatal ketika manusia berada
dalam momen ketidaksadaran, tidak bisa mengontrol dirinya.
Maka semakin dewasa,
menurut saya adalah momen yang tepat untuk mempertanyakan kembali semua hal. Mempelajari
semua hal. Beriman dengan ilmu tentu beda dengan beriman karena takut. Refleksi
iman itu adalah akhlak. Karena itulah dalam bahasa Arab konsep “soleh” dan “alim”
itu berbeda. “Soleh” adalah orang yang memahami agama, dan mengaplikasikannya
sesuai ilmu yang sudah ia dapat, sedangkan “alim” adalah orang yang memiliki
kedalaman ilmu, paham betul baik buruk, tetapi bisa jadi ia lakukan atau justru tidak.
Sumber Gambar: Jepretan Pribadi
Sudah sejak di
bangku SMA, saya merenungi panjang makna soleh dan alim. Dan sebagai orang yang
menghabiskan seperempat hidup di bangku pesantren, saya berkesimpulan bahwa
tidak penting pasangan di masa depan berasal dari kalangan pesantren juga. Saya
justru lebih mengapresiasi orang yang biasa saja, sudah melalui banyak hal dan
pengalaman, tetapi ia senantiasa bisa menjaga dirinya dari larangan Tuhan, dan
Islam itu tercermin dari akhlaknya, dari caranya memperlakukan Ibunya, dari
caranya menghargai orang lain, dan dari caranya memandang
diri sendiri serta kehidupan.
Kesadaran membuat kita memahami hal-hal
yang sudah kita ketahui, membuat syukur ada di semua lini aktivitas, membuat manusia
merasa cukup dengan dirinya sendiri, melihat dunia dari sudut pandang keindahan,
melihat musibah sebagai ujian naik kelas. Lantas mengapa kadang manusia memilih
jalan ketidaksadaran dan kehilangan kontrolnya?
Komentar
Posting Komentar