Stuck: Sebuah Ulasan Melepaskan Diri dari Belenggu Pikiran

 

Teman-teman pembaca pernahkah mengalami stuck pada suatu hal? Dan ketika stuck ini muncul, kita kehabisan ide dan cara untuk melanjutkannya kembali? Saya pernah, pada beberapa hal. Belakangan, saya justru menyadari stuck menjadi sebuah berkah atas ketidaksiapan dan ketidakmatangan pikiran saya. Sehingga saya dapat melakukan evaluasi dan menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Pada tulisan ini saya ingin sharing mengenai kiat yang saya lakukan ketika sedang stuck. Tentunya, pengetahuan ini saya dapatkan setelah pengalaman panjang dan proses dengan orang-orang baik yang memberikan saya pecahan-pecahan nasihat sepanjang hidup.

Stuck pertama yang kerap saya alami sebagai penulis dan researcher adalah kehabisan ide untuk melanjutkan tulisan. Rasanya seperti pas tidak pas dengan redaksi dan substansi yang ingin disampaikan dalam tulisan. Kebingungan ini saya dapatkan hampir di semua jenis tulisan, baik esai, karya tulis, makalah, skripsi, hingga karya fiksi. Bila meluangkan waktu untuk merenung dan evaluasi diri sebentar, bukankah penyebabnya adalah ketidakmatangan pola pikir dari awal? Saya percaya bahwa tulisan yang di rencanakan akan jauh lebih rapi, terstruktur, dan siap tepat waktu ketika penulisnya membuat kerangka berpikir yang final sejak awal. Polanya sama seperti sebuah proposal riset sederhana, dimana latar belakang masalahnya jelas, terdapat data pendukung yang kuat atas masalah yang kita gali, kemudian metodologi juga mesti tuntas (teori/pendekatan), dan terakhir adalah apa solusi yang dapat penulis tawarkan atas problematika tersebut (berdasarkan riset dan analisa data).

Pada tulisan fiksi pun kurang kebih sama, penulis perlu membangun latar belakang masalah (story) yang ingin diangkat, lalu dilanjutkan dengan proses how to get there (metodologi) melalui serangkaian peristiwa, dilanjutkan dengan klimaks, dan terakhir adalah resolusi cerita. Sekalipun karya sastra merupakan karya kreatif- yang notabene bisa saja let it flow saja- tetapi saya meyakini, tulisan yang sudah direncakan dari awal akan jauh lebih baik dibanding yang tidak direncanakan. Minimal sebelum mulai menulis, penulis sudah membuat struktur subtansi bahan tulisan.

Berangkat dari problematika stuck menulis, saya menyadari banyak hal dalam kehidupan yang juga memiliki momen stuck, seakan manusia tidak punya opsi solusi dan bingung bagaimana melanjutkan hal tersebut. Biasanya berkaitan dengan keputusan-keputusan yang mengiringi proses pendewasaan, entah berkaitan dengan rencana karir, masa depan, dan lain-lain. Bedanya, pada persoalan hidup dan keputusan, saya sering menyebut analisa rencana ini dengan SWOT, ya, Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat. Pemikiran/analisa seperti proposal riset dan SWOT ini nyatanya mirip, manusia perlu menganalisis suatu hal sebelum memutuskan maju dengan penawaran solusi-solusi terbaik. Bahkan lebih jauh, cara ini dapat membentuk pola pikir matang yang logis rasional dalam mengambil sebuah keputusan.

Nah, kembali lagi kepada persoalan stuck. Hal yang biasa saya lakukan ketika stuck adalah menghapus semua ide sebelumnya dan memulai kembali dari langkah pertama. Misalnya ada momen saya stuck dalam merancang makalah yang sesuai dengan topik, ada keraguan ketika sampai di pertengahan, sehingga saya urung dan tidak bisa melanjutkan ke poin selanjutnya. Setelah berusaha mencari jalan keluar agar dapat menyelamatkan ide, saya memutuskan untuk menggambil halaman kerja dengan word baru. Word yang masih putih, lalu memulai proses from zero. Segala ide yang sudah saya dapatkan sebelumnya saya simpan dan saya letakkan jauh di luar kepala, hal ini agar ide sebelumnya tidak membelenggu kebebasan saya dalam berpikir, dan agar otak saya tidak berada dalam satu kotak yang saya bangun sendiri. Cara ini membutuhkan keberanian, karena bagaimanapun memulai menulis dari awal tidaklah mudah, artinya saya perlu mengulang semua proses dan meninggalkan hasil kerja saya yang membutuhkan sekian waktu dari awal. Tetapi setelah melakukannya, justru proses berpikir selanjutnya akan jauh lebih mudah, cepat, dan efisien. Hal ini dikarenakan sebelumnya saya sudah mengeliminasi dan menganalisa penyebab-penyebab ide awal tidak bisa berkembang, sehingga pada ide kedua ini saya menjadi lebih leluasa dibanding sebelumnya.

Hal kedua yang biasa saya lakukan adalah membaca. Saya percaya ada korelasi yang begitu kuat antara kualitas bacaan dengan ide, karena itulah, ketika stuck ya harus kembali membaca. Namun persoalannya adalah, ketika orientasi membaca untuk “segera mendapatkan hasil”, maka sebenarnya sia-sia saja, penulis masih membelenggu diri sendiri dengan memaksakan pikirannya, padahal pola pikirnya sendiri belum matang. Keinginan untuk terburu-buru ini juga sering saya alami, apalagi ketika sudah dikejar deadline. Oleh karena itu, sebaiknya ketika membaca (baca apapun yang berkaitan dengan topik) jangan meletakkan ekspektasi terlalu besar, bacalah untuk menambah ilmu pengetahuan terkait topik, bukan untuk menemukan gagasan baru. Justru, kondisi membaca tanpa belenggu dapat membuat otak terpacu lebih bebas, sehingga dengan sendirinya justru akan menemukan gagasan baru.

Terakhir, teman-teman pembaca perlu merenungi kembali, bahwa karya itu sejatinya merupakan produk pikiran. Maka sebuah karya yang berkulitas itu pasti berasal dari kualitas bacaan dan kematangan berpikir. Mari asah kemampuan berpikir setiap hari. Saya dan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak