Memilih Cara Merespon

 

Tulisan ini merupakan refleksi panjang dan belum selesai mengenai filosofi hidup. Pertama kali berkenalan dengan filosofi ini dalam buku Filosofi Teras, kemudian dilanjutkan dengan podcast Satu Persen, dan kemudian segala niche yang serupa muncul di beranda media sosial. Refleksi pertama yang saya baca mengenai penerimaan. Konsep ini berangkat dari “sesuatu yang bisa kita kendalikan dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan”. Yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri, dan yang ada di luar kendali adalah faktor eksternal, termasuk orang lain dan lingkungan.

Diri kita, adalah satu-satunya yang ada dalam kendali kita. Tuhan beri manusia akal untuk mampu mempertimbangkan segala keputusan,  entah konsekuensi itu berdampak langsung dalam kehidupan atau justru berakibat jangka panjang (konsep surga neraka), yang jelas, akal itu memang memiliki proporsi yang cukup tinggi dalam tingkatan kualitas manusia.

Anak yang dilahirkan dari rahim Ibu tidak seratus persen akan mengikuti perkataan Ibunya, apalagi bos-karyawan, teman ke teman, suami-istri, selamanya tidak akan sepaham dan satu pemikiran, dan untuk menghindari gesekan-gesekan tersebut, manusia perlu memilih cara untuk merespon.

Banyak situasi di luar dugaan kita setiap hari, mulai dari hal kecil seperti terjebak macet berjam-jam karena ada pengendara yang kecelakaan, menghadapi klien yang marah, kondisi disalahpahami, atau menjadi korban atas rasa iri tetangga dll, semua hal ini berkaitan dengan aspek di luar diri kita sendiri. Tentu saja bila berhadapan langsung dengan masalah-masalah yang berganti setiap harinya ada perasaan marah dan kesal, nah yang menjadi poin penting di sini adalah cara mengendalikan emosi negatif tersebut sehingga tidak memunculkan respon yang impulsif. Dalam Islam, ada hadis Nabi yang menganjurkan manusia agar segera duduk atau mengambil air wudhu ketika marah, bahkan hakim dilarang untuk mengambil sebuah keputusan ketika kondisi emosionalnya tidak stabil (sedih, berduka, marah, dll), di luar profesionalitas kerja modern, fikih Islam mengakui bahwa keputusan yang  dibuat ketika impulsif biasanya tidak tepat, karena yang mengendalikan keputusan tersebut adalah hawa nafsu, bukan akal.

Hari ini, berapa banyak kita terpapar oleh konten kekerasan verbal dan fisik di media sosial setiap hari? bahkan, secara tidak langsung kita yang  penonton juga ikut mengamini kekerasan tersebut dengan dalih "toh orang lain memang salah dan sudah sepantasnya mendapatkan respon kekerasan". Saya khawatir, kita makin terbiasa dengan hal tersebut, dan lupa cara mengendalikan diri dan tidak impulsif. 

Salah satu contohnya adalah judge lingkungan yang tidak membangun. Ini adalah ungkapan yang sering sekali saya dengar dari teman-teman atau bacaan di media sosial. Ada yang orang tuanya kurang support terhadap ambisi anak, ada yang lingkungan pertemanannya dinilai toxic dan menjemukan, atau ada juga yang terperangkap dalam hubungan tidak sehat dengan pasangannya. Menurut saya, daripada menunggu orang lain dan lingkungan kita berubah, lebih baik kita menjadi satu-satunya yang mulai berubah terlebih dahulu, beruntung kalau lingkungan yang semula tidak baik akan berbelok mengikuti perubahan kita. Kalau dinilai faktor eksternal sudah membuat tidak nyaman, pilihannya hanya dua, komunikasikan atau tinggalkan. Tidak perlu membuang energi untuk merespon panjang lebar, apalagi bila diawali dengan saling hina atau marah berkepanjangan. Saya rasa, teman-teman pembaca sudah cukup dewasa untuk mampu membedakan mana yang baik dan impactable untuk diri kita, atau justru sebaliknya. Maka, menarik diri pelan-pelan bisa menjadi keputusan yang diplomatis, tidak menyakiti orang lain, begitupun tidak membebani diri sendiri.

Di sisi lain, ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan, hal yang perlu dilakukan adalah refleksi dan evaluasi diri. Setelah itu pahami faktor-faktor eksternal yang mengikutinya. Ketika sudah berpikir dan cukup merenung, manusia akan secara tidak sadar menghadapi kondisi “penerimaan”, dan penerimaan ini adalah sesuatu yang amat sangat penting guna menemukan motivasi kembali, memulai langkah kedua, ketiga, dan bangkit dari keterpurukan. Memilih cara merespon yang tepat artinya menyelesaikan probabilitas masalah yang akan muncul di masa depan akibat impulsif. Minimal sekali rasa malu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak