Takut Salah: Semua Pengalaman Pertama Menjadi Profesional

 

Saya rasa kita perlu bersepakat bahwa diri sendiri atau orang-orang di sekeliling kita seringkali merasa gagal terhadap sesuatu yang bahkan belum dihadapi, atau bisa jadi memiliki ketakutan dan kecemasan sebelum sebuah hal terjadi. Itu wajar. Sungguh wajar. Perasaan bahwa diri kita bisa menjadi penyebab “kegagalan” atas suatu hal menjadi beban mental tersendiri bagi manusia.

Saya pun pernah mengalami momen tersebut, terutama Ketika menghadapi ajang kompetisi yang memerlukan presentasi di depan juri/panelis. Hingga saat ini, Ketika saya sudah berusia satu tahun di pekerjaan profesional, momen-momen itu masih tetap ada, hanya saja berbeda ruang dan tupoksi tanggung jawab.

Sebelum berbicara lebih jauh, hal pertama yang ingin saya katakan adalah, perasaan gugup, cemas, takut salah, takut gagal, dan lain-lain, sebagain besar disebabkan oleh ketidaksiapan. Tidak siap, kurang riset, dan kurang menguasai lapangan menciptakan kekhawatiran dua kali lipat. Kondisi tidak siap ini pernah saya alami, dan kondisi yang prima seratus persen juga pernah saya alami. Di kepala saya, dalam mengerjakan dan mempersiapkan suatu hal/projek, seringkali mengasumsikan kesiapan dalam persentase di otak saya. Saya yang bertanggung jawab dan satu-satunya yang bisa menilai sudah sejauh mana persiapan saya dalam mengoptimalkan hal tersebut. Kemudian terus menambah persentase tersebut melalui riset dan latihan hingga saya merasa sudah di angka 99/100.

Pengalaman “takut salah” di tempat kerja saya alami di awal-awal saya menjadi karyawan. Momen pertama adalah ketika mengajukan Internal Memo- semacam surat tugas resmi lintas divisi dan departemen di lembaga. Ada beberapa lampiran yang perlu dibuat di dalamnya, dan saya sejak kuliah merasa agak lemah di bidang administratif, lebih tepatnya saya kurang teliti melihat dokumen dengan lampiran yang tidak sedikit, terlebih ada anggaran budget program yang juga saya breakdown dan kelola. Mengirimkan Internal Memo saja membuat saya keringat dingin, saya terus membacanya berulang kakli, khawatir ada bagian yang tertinggal dari ketelitian saya. Namun hari ini, justru proses dan learning by doing yang saya lakukan selama beberapa bulan terakhir membuat saya semakin bertumbuh, ketelitian saya terasah.

Momen “takut salah” kedua adalah pengalaman meeting pertama kali dengan mitra perusahaan lain tentang sebuah projek. Perusahaan ini merupakan penyedia jasa Cloud di Indonesia, kalau saya sebut namanya mungkin teman-teman pembaca akan langsung mengetahuinya. Nah, saya ikut meeting online dengan mitra (3 orang) pada hari ketiga saya bekerja. Saya tidak memiliki pengetahuan sebelumnya mengenai jenis kerjasama yang ditawarkan, baik dari pihak kami ataupun mitra, saya juga belum memiliki pengalaman untuk menjelaskan atau memberikan feedback terkait pola kolaborasi ini. Batin saya saat itu hanya “Please jangan panggil saya”. Saya hanya ingin menjadi batu dan mencatat poin-poin dari meeting tersebut, bahkan belum berani untuk mengkonfirmasikannya ke rekan se-tim terkait bahasan tersebut. Sekarang tentu saja saya sudah bertumbuh banyak.

Dan pengalaman “takut salah” terakhir adalah Ketika meeting offline dengan mitra. Saya kikuk, tidak bebas, tidak berani terlalu berekspresi, dan juga “takut salah” Ketika menimpali obrolan. Saya takut menciptakan suasana canggung setelah saya bicara. Beruntung, saya ditemani Direktur yang ramah dan mengayomi dengan baik, beliau memberikan beberapa insight untuk saya dalam menarik mitra-mitra baru untuk kolaborasi di masa depan. Kemudian perasaan kikuk ini saya peluk erat-erat dan ingat dengan baik, saya belajar banyak mengenai komunikasi dan negosiasi, saya juga belajar menempatkan diri dengan baik, hasilnya sejauh ini saya sungguh sudah berkembang banyak.

Poin yang ingin saya utarakan di sini adalah, setiap orang pernah menjadi karyawan baru, pernah menjadi amatir, jadi jangan terlalu dibawa stres dengan tuntutan di tempat kerja. Adaptif, pelajari hal-hal baru, belajar dengan cepat, menerima kritik dan masukan dari orang lain, berbesar hati meminta maaf kalau salah, itu adalah sikap yang perlu dipelajari by proses Ketika berinteraksi dengan orang-orang dan lingkungan di tempat kerja.

Pun Ketika menjadi senior, tempatkan anak magang atau karyawan baru dalam posisi kita di masa lalu. Bahwa mereka butuh proses juga untuk belajar, dan lama proses ini tergantung pribadi masing-masing. Tetapi, setiap entitas individu tentu punya tanggung jawab untuk tidak berlama-lama dalam proses belajar, karena bagaimanapun, Lembaga atau perusahaan menggaji karyawannya agar mendapatkan output yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak