Cara Mendebat Kaum Open Minded yang Setengah-setengah di Twitter

Resensi atas Buku Tutorial Berpikir Benar untuk Pemula Karya Irwansyah Saputra

Foto dari Shubham Dage melalui https://unsplash.com/photos/g-1HnkApDik

Buku yang baru saja saya selesaikan ini merupakan buku yang tidak sengaja saya temukan dalam sebuah postingan di Facebook, yang membahas tentang trading illegal dan baru-baru ini begitu marak di Indonesia. Artikel pendek di facebook tersebut juga dibagikan oleh akun bernama Irwansyah Saputra. Saya scroll beberapa tulisan lain di berandanya, dan bertemulah saya dengan buku ini yang dapat diunduh secara legal di website miliknya.

Di awal-awal bab, pembaca sudah disuguhi oleh standar dan cara berpikir supaya mencapai kesimpulan yang benar, termasuk perkara mempercayai orang lain, dan mempercayai hal yang acap kali benar, tetapi salah tempat dan konteks. Teman-teman yang memiliki background pesantren salaf atau pernah belajar ilmu mantiq rasanya cukup se-frekuensi dengan buku ini. Saya sendiri walaupun sempat belajar satu tahun ilmu mantiq, rasanya masih cukup sulit untuk mengkontekstualkan bacaan dalam kitab yang baku ke dalam case yang sehari-hari kita temui. Tetapi, Saputra berhasil melakukannya.



Judul yang saya letakkan pada artikel ini apakah terkesan cukup berani?

Sebenarnya kegelisahan ini bermula dari tread yang sering saya baca di twitter, yang menurut  saya kok premis yang benar dapat menghasilkan kesimpulan yang ngaco. Mari mulai dari persoalan Child Free yang beberapa waktu lalu sempat memenuhi laman media massa kita. Ketika ada pasangan yang memutuskan tidak ingin memiliki anak, respon warganet seharusnya berangkat dari pertanyaan “Apakah agama dan negara membolehkan pilihan pasangan yang tidak ingin memiliki keturunan?” jika jawabannya adalah “Ya” maka sudah semestinya tidak perlu ada respon “kafir, musyrik, tidak mensyukuri nikmat, liberal, feminis, dll” kepada mereka. Karena “Ya atau Tidak” menjadi jawaban baku utama yang menjadi pegangan. Adapun hal-hal lain, misalnya dalil agama mengenai anjuran berkeluarga dan memiliki keturunan, itu adalah hal yang beda lagi.

Masuk ke case kedua, yang sering sekali ada tread berulang dengan kisah berbeda, yaitu mengenai keperawanan perempuan. Tread ini biasanya muncul sebagai respon laki-laki yang menginginkan pasangan yang perawan, lalu warganet mulai memberikan tanggapan beragam. “Definisi nikah hanya untuk vagina aja” “Pernikahan kok tujuannya lubang” “Masih jaman yak nikah nanya keperawanan orang?” “Laki-laki yang nakal tapi inginnya perempuan solehah” dan masih banyak lagi respon serupa. Sebelum bicara lebih jauh mengenai kata “perawan” yang telah mengalami pergeseran makna dan penerimaan, terlebih dahulu perlu dianalisis awal mula tread ini muncul. Berangkat dari pertanyaan “Apakah seorang laki-laki yang menginginkan pasangan perempuannya perawan itu salah?” dan untuk pertanyaan “apakah” jawabannya hanya ada “ya atau tidak”. Kalau dalam konteks pasangan yang diidamkan secara pribadi dan kriteria pribadi, tentu saja ini tidak salah, karena toh yang menjalani hubungan pernikahan nanti adalah dirinya. Lalu apakah pilihan si laki-laki untuk mencari pasangan yang masih perawan dapat dikatakan tidak open minded?  Tentu saja tidak, kecuali ia menyebarkan dan mempengaruhi orang lain untuk memilih pilihan yang sama dengannya. Yang ingin saya katakan adalah, dunia twitter kita yang open minded dan setengah-setengah tidak peduli dengan pendapat orang lain, bahwa open minded itu bukan bermakna mentabukan hal yang faktual, melainkan dapat menerima pendapat yang berbeda di luar pandangannya sendiri. Dan masih terkait keperawanan dan keperjakaan, saya malah semakin melihat orang-orang mulai menormalisasikan hal tersebut. Padahal, kalau kita tahu perbuatan itu tidak baik dilakukan sebelum menikah, maka simpan baik-baiklah cerita tersebut, kubur, dan minta maaf pada diri sendiri dan Tuhan.

Foto dari Vanessa Krebs melalui https://unsplash.com/photos/2iHXZUORVhk

Beberapa case yang saya sebutkan di atas merupakan contoh dari kecacatan logika. Lebih lengkap, Saputra menerangkan ada lima belas bentuk kecacatan logika, saya hanya menyebut nama jenisnya saja supaya artikel ini masih ringan untuk dibaca, silahkan teman-teman browsing untuk tahu lebih lengkap penjelasan pada tiap-tiap bagiannya. Pertama adalah Ad Hominem, lalu ada Argument from Consequences, Strawman (Boneka Jerami), Appeal to Irrelevant Authority, Slippery Slop, Red Herring, False Dichotomy, Tu Quoque, No True Scotman, Anecdotal, Personal Incredulity, Burden of Proof, Appeal to Popularity, False Cause, dan Circular Reasoning.

Bila memahami kelima belas kecacatan logika di atas dengan baik, saya percaya kita akan terbebas dari belenggu orang-orang manipulatif, yang seakan menampakkan hal yang benar, tetapi bisa jadi itu merupakan kesimpulan yang salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak