Menjadi Adaptif
Belakangan saya banyak membaca tentang tokoh-tokoh pejuang yang namanya kini redup dan hidup dalam ketidakcukupan.
Ada yang menggelandang, memulung, atau profesi lainnya yang tidak mengguratkan
bekas-bekas kegagahan di masa lalu. Saya membaca juga, bahwa banyak pensiunan
atlet nasional yang pernah mengharumkan nama Indonesia di dunia, kini hidup
dalam gurat kemiskinan, seperti mantan atlet dayung yang beberapa waktu lalu
dikabarkan di berbagai media.
Reaksi umum yang lagi-lagi saya baca, baik di
media sosial Facebook ataupun Youtube adalah, tindakan menyalahkan pemerintah karena
tidak menyerap kualitas mereka dengan baik, dan tidak menghargai usaha yang
pernah mereka torehkan di masa lalu untuk Indonesia. Di satu sisi, komentar tersebut
tentu tidaklah salah, tetapi tiba-tiba saya malah terpikirkan satu hal, yaitu
adaptif.
Adaptif adalah kemampuan beradaptasi. Menurut
saya, baik para tokoh-tokoh di atas ataupun kita sendiri, selalu hidup dalam
kesempatan, baik kesempatan yang kita ciptakan maupun yang telah semesta hadiahkan.
Bagi saya, peran eksternal pemerintah yang dituding “tidak menghargai” merupakan
hadiah atau kartu peluang, karena persentasenya 50:50. Tidak pasti. Tapi ada nilai
yang membuat itu menjadi lebih tinggi, yaitu tentu saja kesempatan yang kita buka
sendiri. Saya percaya matematika adalah ilmu pasti, maka sering sekali dalam
banyak kesempatan saya mengambil keputusan menggunakan konsep peluang dan
persentase.
Karena peluang itu pasti, maka melalui trail
and error kehidupan, manusia dengan sendirinya akan mengerti bagaimana cara
survive di segala kondisi. Dan tentu saja, kesimpulan itu didapatkan
setelah mencoba banyak kartu peluang, makin banyak dicoba, maka makin banyak
data yang didapatkan, dan data itu kemudian memberikan pemahaman berharga bagi
manusia tentang cara bertahan, tentang agar tidak dilupakan, dan tentang membuat
diri sendiri bangga dengan kehidupan yang telah dijalani sejauh ini.
Beruntung, sekarang kita hidup pada tahun-tahun
bebas ilmu pengetahuan, karena banyak sekali sumber bacaan yang bisa kita dapatkan
secara gratis, belum lagi berbagai webinar yang menghiasi dunia sepanjang pandemi.
Ilmu marketing, ilmu sosial, ilmu desain, bahkan ilmu coding sekalipun yang biasa
kita dengar mahal tersedia di internet. Hanya tentang kita yang perlu
membukanya, mengunduhnya, lalu mempelajarinya. Mengapa? karena pengetahuan sama
dengan kartu peluang dalam kehidupan, itu bisa membawa kita untuk bertahan
dalam bermacam keadaan, dan setelah sarjana nanti, lalu mencari pekerjaan, lalu
mendapatkan pekerjaan, lalu menikah, lalu membuka usaha sendiri, lalu menjadi
ketua RT, dan seterusnya, manusia tidak pernah tahu akan menggunakan kartu mana,
tapi tentu saja semuanya akan terpakai pada waktunya. Maka bicara bertahan
adalah siapa yang paling siap. Orang-orang kadang menyebutnya “adaptif”.
Komentar
Posting Komentar