Orang Semakin Tua Semakin Butuh Teman Bicara










Memasuki usia dua puluh, kita semua pasti memilik cukup pengalaman kehidupan di bangku SD, SMP, dan SMA. Bayangkan betapa bahagianya kita melompat, bermain, dan melakukan banyak hal dengan teman-teman. Namun seiring berjalannya waktu dalam proses pendewasaan, teman-teman kita jadi jauh lebih sedikit. Karena manusia secara alami memilah dengan siapa ia cocok berteman dan pergi nonton bersama, berbagi kisah lucu dan duka bersama. Kita makin tahu, kita ini orang yang seperti apa, dan menginginkan bentuk pertemanan seperti apa. Menjadi dewasa artinya kita semakin sepi.

Yang membuat sepi lebih sunyi adalah pernikahan. Walaupun banyak orang menggadang-gadang bahwa menikah akan mencapai kebahagiaan baru bersama pasangan, dapat bermanja-manja, menjadi orang nomor satu yang diperhatikan, menata masa depan bersama-sama dengan orang yang satu visi, tetap saja, menurut saya menikah adalah sepi. Kita telah memutuskan untuk melihat “dia” saja seumur hidup setiap bangun tidur. Wanita yang berkarir mungkin sedikit ramai, karena di aktivitas bekerja ia bertemu banyak orang, dan kadang membentuk hubungan pertemanan di tempat kerja. Tapi tidak bagi istri yang mengabdikan dirinya untuk suami dan keluarga. Hanya sebagian kecil yang tetap rutin bertemu teman lama setelah menikah.

Perempuan menikah akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan duduk dan bertemu teman-teman lamanya. Apakah suami memberinya izin, siapa yang akan menjaga anak, apa anak akan rewel jika dibawa, sebelum pergi harus menyelesaikan pekerjaan rumah, ketika pulang harus segera memasak, hal-hal seperti itu rumit, hingga akhinya istri memutuskan tidak jadi pergi, karena repot. Ada hal-hal yang lebih penting dari berkumul bersama teman-teman.

Siklus itu berlanjut, hingga akhirnya istri hanya mengobrol dengan tetangga ketika sore hari, membicarakan uang belanja, anak sekolah, masakan, dan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Wanita yang dulu pengantin baru sekarang telah jadi seorang Ibu, dimana anak dan suami lebih jadi prioritas dibanding dirinya sendiri. Rambut yang dulu indah kini sangat sering lepek, dan daster yang kadang berlubang tetap dikenakannya dengan alasan nyaman, baju-baju rapi untuk suami disiapkannya setiap hari, sedangkan bajunya sendiri hanya disetrika ketika ia akan bepergian. Wanita melakukan perannya sebagai Ibu dengan baik, dan melupakan bahwa ia juga seorang perempuan.

Anak yang semakin besar juga menjadi lebih pendiam, tidak lagi menceritakan apa-apa yang terjadi di sekolahnya, anak beranjak remaja dan dewasa, dan Ibu tetap di rumah melakukan tugasnya sebagai Ibu. Memasuki usia 20, saya menyadari bahwa orang tua dapat dibahagiankan dengan hal-hal sederhana. Saya sendiri tidak berasal dari keluarga hangat yang sering mengucapkan sayang. Kami sekeluarga kaku. Namun ketika kuliah dan kos sendiri, setiap kali pulang ke rumah saya mencium kedua pipi mama saya, awalnya terasa canggung, sekarang jadi kebiasaan. Saya selalu memperhatikan segurat bibir yang tersenyum ketika saya menciuminya, padahal mama selalu mengomel “ah buat apa cium-cium, sana berangkat, nanti ketinggalan busway!” Saya mengerti, bahwa itu bukan ungkapan ketidaksukaan mama, dia hanya gengsi. Dan wanita selalu gengsi.

Saya yang dewasa, walaupun hanya tidak bertemu mama selama seminggu, saya dapat berbicara dan berbagi cerita hingga 3-4 jam. Saya memahami bahwa mama butuh teman bicara, dan tidak semua hal bisa ia ceritakan pada tetangga ataupun suaminya. walaupun kerap kali ia berkata “sana tidur, capek ngomong!”, tetap saja, ketika saya membuka mulut, mama pasti akan menyambungkannya dan memberikan komentar. Semakin dewasa, anak harus menjadi teman bicara orang tua, setidaknya itu yang bisa kita lakukan.


Komentar

  1. Kalo bukan lu yg share link nya. Keknya gw gakan nebak klo ini tulisan lu vin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak