Apa Kamu Bersyukur Terlahir Islam?

 


Hari ini, jika ada orang tiba-tiba datang dan menyuruh kita agar masuk ke agamanya, apa kita akan serta merta mengikuti? Kebanyakan kalian pasti mengatakan tidak. Bagaimana mungkin kepercayaan yang sudah diyakini sejak lahir dan mendarah daging selama dua puluh tahun lebih, dengan cepat tergantikan dengan doktrin lain. Belakangan banyak muncul pertanyaan mengenai Islam paling baik di zaman siapa, karena banyak terdapat tesis yang mengatakan cobaan di zaman ini adalah paling sulit, karena dosa tidak lagi berasal dari pandangan mata dan pergunjingan, tetapi ada neraka paling dalam di gawai yang kita kantongi setiap hari.

 Seorang agamawan pun memegang “neraka” itu kemanapun. Artinya walaupun tidak terjerumus di dalamnya, tetap ada peluang dan celah dosa pada setiap klik dan tindakan yang dilakukan melalui gadget. Apalagi Tuhan yang Maha Besar bersedia menutup segala rahasia yang kita kubur dalam-dalam, maka sesuatu yang bernama “aib” hanya kita ketahui seorang. Padahal dari luar banyak orang bersumpah bahwa “kita” adalah orang baik, setidaknya dengan sesama manusia.

 Cobaan orang-orang di masa lalu tidak terbilang ringan, karena kepercayaan artinya sebuah nyawa. Seseorang bisa saja mati karena mempertahankan agamanya hingga akhir, sebaliknya seseorang juga bisa membunuh untuk mendaulatkan keyakinannya secara publik, sedangkan parameter iman dan kecintaannya kepada Tuhan juga tidak bisa diukur oleh orang lain, karena niat membedakan satu orang dengan orang lainnya. Mengenai nafsu dan dosa, manusia dari awal diciptakan bertabiat sama, hanya saja dulu tidak memakai gawai, dan sekarang tidak menggunakan senjata.

 Satu hal yang membuat saya bersyukur dilahirkan sebagai keturunan muslim adalah, saya mempelajari Islam melalui internal lingkungan Islam, dan sebagai pembelajar, saya mencari kebenaran Islam di luar sumber-sumber keislaman, hingga akhirnya menemukan satu titik yang membuat saya yakin terhadap agama yang diwariskan orang tua.

 Saya masih sulit membayangkan betapa kuatnya iman yang dimiliki orang-orang di masa Muhammad Saw. Kembali ke pertanyaan paling awal, Analogikanlah hari ini ada anak muda usia 20-an mengatakan dirinya utusan Tuhan, dan kita, masyarakat homogen dari berbagai latar belakang, usia, etnis, tiba-tiba diserukan agar mengikuti ajarannya, bahkan dia mengatakan apa yang kita yakini selama ini salah, dan apa kita akan serta merta mengikutinya? Mungkin respon kita akan sama dengan masyarakat Mekkah saat itu yang mengatakan Muhammad orang gila. Tetapi kenapa seakan-akan ketika membaca sejarah, kita menempatkan diri sebagai malaikat yang sangat mengutuk respon musyrikin Mekkah saat itu, padahal kita pun, dalam kondisi yang sama berindikasi melakukan hal serupa. Ketika memikirkan ini, saya bersyukur berkali-kali hidup di era sekarang, bisa jadi saya bukan seorang muslim jika terlahir di masa lalu.

 Iman dan kepercayaan merupakan sesuatu yang sakral, dan hadirnya Nabi Saw. di tengah-tengah kekacauan juga begitu sakral. Karena itu assabiquna al-awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) menempati posisi istimewa di sisi Tuhan. Karena mereka mempercayai Nabi tanpa alasan politis, dan mengimani Allah tanpa balasan apa-apa, sekalipun mengancam eksistensi mereka di dunia dengan bayang-bayang akan dibunuh dan diperangi. Pertanyaannya, apakah hari ini kita bisa mempercayai seseorang begitu saja?

 Karena zaman telah berganti, kita masyarakat yang dilahirkan muslim harusnya terus mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan, dan bukan tren lagi hanya mengikuti agama orang tua tanpa mempelajarinya. Islam tidak sempit hanya dengan peritah salat, zakat, dan puasa. Lalu, bagaimana kamu menemukan syukur pada Islam?


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wajah Perawan di Orang-Orang Desa, dan Kita Masih Saja Tega

Apa kabar?

Yang Terserak